Memang, penetapan disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh masih diperselisihkan para ulama, termasuk para mujtahid madzhab empat. Namun, alangkah lebih terhormat, arif dan bermartabat apabila masalah ini di dudukkan sebagai masalah khilafiyyah sehingga kita tidak gegabah menilai salah ijtihad ulama lain. Akan tetapi realitas menunjukkan bahwa kalangan muslim yang berada di luar lingkungan Ahlussunnah, tidak bisa memposisikan khilaf dalam koredor hukum ijtihadiyyah yang sebenarnya.
Bukankan para shahabat Rasulallah atau salaf shalih juga berselisih dalam hukum? Namun mereka tetap saling menghormati satu dengan yang lain. Sebandingkah pulakah mereka dengan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik bin Anas sehingga mereka menganggap ijtihad mereka tentang qunut Shubuh adalah batil. Tidak sadarkah mereka bahwa perilaku menghina pengamal qunut Shubuh adalah tindakan yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulallah dan para shahabatnya yang menghormati ijtihad orang lain?! Banyak orang yang mengaku paling membela sunah Rasulallah tapi akhlaknya jauh dari apa yang diajarkan oleh Rasulallah. Na’udzubillah
Kemudian Ashhab (pengikut) asy-Syafi’i dalam menanggapi hadits-hadits tentang tidak adanya qunut Shubuh adalah sebagai berikut:
1. Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
“Rasulallah melakukan qunut selama sebulan, mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah dari Bani Sulaim) kemudian tidak melakukan qunut lagi.”
Maksud hadits tersebut adalah Rasulallah tidak lagi melakukan qunut atau doa untuk orang kafir dan melaknatnya, bukan meninggalkan semua qunut, yang artinya Rasulallah masih tetap melakukan qunut biasa. Ta’wil ini dilakukan untuk mengumpulkan hadist di atas dengan hadits riwayat Anas bahwa “Rasulallah selalu melakukan qunut Shubuh sampai beliau wafat” yang juga shahih secara jelas, maka wajib adanya jam‘u dalilain (pengumpulan dua dalil). Penta’wilan ini dikuatkan riwayat al-Baihaqi dari Abdurrahman bin Mahdi, dia mengatakan: “Rasulallah meninggalkan doa laknat.”
Lebih jelas lagi, sebagai penguat ta’wil di atas adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah melakukan qunut setelah rukuk dalam shalatnya selama sebulan, mendoakan seseorang kemudian tidak melakukan doa lagi.
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
“Rasulallah ketika akan mendoakan jelek kepada seseorang atau mendoakan baik untuk seseorang, maka beliau akan qunut (berdoa) setelah rukuk.’”
2. Hadits riwayat dari Anas dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنَتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا الْقَوْمَ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
“Rasulallah tidak melakukan qunut kecuali apabila berdoa kebaikan untuk kaum atau mendoakan jelek pada suatu kaum.”
Dengan hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dai Anas di atas, beberapa orang yang selalu membid'ahkan qunut Shubuh mendakwakan bahwasannya hadits tentang qunut Shubuh bertentangan dengan hadits tersebut. Pernyataan tersebut tidak benar, karena hadits tersebut berbicara tentang qunut nazilah, bukan qunut Shubuh. Lantaran kata “yaqnutu” pada hadits tersebut bermakna doa bukan bermakna qunut.
Andai hadits tersebut berkaitan dengan qunut Shubuh, tentu hadits ini menjadi dalil bagi Madzhab Hanafi dan Abu Yusuf tentang tidak bolehnya melakukan qunut Shubuh, padahal dalil madzhab Hanafi dan Abu Yusuf yang tidak mensyariatkan qunut Shubuh bukan berdasar hadits di atas.
Madzhab Hanafi, madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Yusuf mengambil dalil tentang tidak bolehnya mengamalkan qunut Shubuh dengan hadits riwayat at-Tirmidzi dan lain-lain.
http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/doc/203381003018049/ oleh Mbah Jenggot, pengasuh Pustaka Ilmu Sunniyah Salafiyah
Posting Komentar