Hijrahnya Rasulullah SAW dan para
sahabatnya ke kota Madinah membawa perubahan besar, menghentakkan perhatian
dunia, menggoncang altar sejarah umat manusia. Perubahan drastis terjadi; arus
perubahan itu pada utamanya terletak dalam semangat saling tolong menolong,
meniupkan angin persatuan, keadilan, membungkam suara perpecahan, fanatisme
etnis, suku, dan ras, semuanya bersatu di bawah bendera Laa Ilaaha Illallah
Muhammad Rasulullah.
Tatkala Nabi SAW tiba di kota Madinah, setidaknya beliau meletakkan lima asas kemasyarakatan untuk menopang kekuatan umat Islam dengan sokongan kaum Muhajirin dan Anshar. Kelima asas yang dibangun oleh beliau adalah:
Tatkala Nabi SAW tiba di kota Madinah, setidaknya beliau meletakkan lima asas kemasyarakatan untuk menopang kekuatan umat Islam dengan sokongan kaum Muhajirin dan Anshar. Kelima asas yang dibangun oleh beliau adalah:
Pertama adalah Al-Ikha (persaudaraan). Rasulullah SAW
menegakkan masyarakat Islam atas dasar persaudaraan yang kokoh dan kuat.
Karenanya kaum muslimin itu bersaudara.
Dalam Islam, persaudaraan tidak mengenal batas-batas teritorial, geografis, suku, etnis, ras, maupun warna kulit. Ppersaudaraan dalam Islam senantiasa mengikat dan mempersatukan tujuan serta memperkuat barisan, mengajak kepada kerjasama, gotong royong, bahu membahu atas dasar kebaikan dan kasih sayang.
Imam Bukhari meriwayatkan, setiba kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdur Rahman bin Auf dengan Sa`ad bin Ar-Rabi`. Setelah dipersaudarakan Sa`ad berkata kepada Abdur Rahman, “Saya termasuk orang Anshar yang berharta banyak. Itu hendak saya bagi dua separoh untukku dan separo untuk Anda. Saya juga mempunyai dua istri, lihat dan tunjuklah mana di antara dua perempuan itu yang Anda sukai, ia akan kucerai dan bila iddah-nya telah selesai silakan Anda nikahi.”
Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkati keluarga dan harta Anda. Tunjukkan saja padaku di mana pasar tempat Anda berniaga.” Atas permintaan Abdur Rahman itu Sa`ad menunjuk pasar Qainuqa`. Beberapa waktu kemudian ternyata Abdur Rahman telah mempunyai kelebihan bahan makanan seperti keju (jubn) dan minya makan (samn).
Pada suatu hari ia datang menghadap Rasul. Beliau bertanya, “Apakah masih kesepian?” Abdur Rahman menjawab, “Saya sudah beristri.” “Berapa mahar mas kawin yang engkau berikan?” “Emas sebesar biji kurma.”
Masih banyak berita-berita riwayat yang menunjukkan betapa besar perhatian kaum Anshar terhadap saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Dengan kesadaran tinggi dan persaudaraan yang tulus mereka rela mengorbankan sebagian kekayaan mereka untuk membantu kehidupan kaum Muhajirin.
Kedua, Al-Musaawaah (persamaan derajat). Rasul SAW menegakkan masyarakat di atas kaidah persamaan yang sempurna antar umat manusia, bukan hanya di antara umat Islam, tapi juga di antara elemen masyarakat di luar komunitas Islam. Tidak ada kelebihan antara seseorang dengan lainnya, tidak ada kelebihan dan keistimewaan antara si kulit putih dengan si kulit hitam, tidak ada kelebihan antara orang arab dengan bukan arab.
Dengan semangat persamaan pula, Nabi menghapus diskriminasi yang sebelumnya membelenggu kehidupan umat manusia. Dalam salah satu kesempatan beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan semangat jahiliyah, kebanggaan mereka dengan nenek moyangnya, karena kalian berasal dari Adam dan Hawa, dan sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (HR. Baihaqi)
Ketiga, Al-Ta`aawun (Saling tolong-menolong). Rasulullah SAW mengetengahkan asas kehidupan masyarakat setelah hijrah atas sikap tolong-menolog. Tolong menolong tersebut untuk kebaikan dan keutamaan, menjauhi hal yang haram, membasmi kemunkaran yang bercokol, dan mengenyahkan kebatilan serta kemusyrikan, menjaga bangunan tubuh masyarakat Islam dari penyakit-penyakit masyarakat yang bisa membawa pada kehancuran dan bercerai-berai.
Dalam Islam, persaudaraan tidak mengenal batas-batas teritorial, geografis, suku, etnis, ras, maupun warna kulit. Ppersaudaraan dalam Islam senantiasa mengikat dan mempersatukan tujuan serta memperkuat barisan, mengajak kepada kerjasama, gotong royong, bahu membahu atas dasar kebaikan dan kasih sayang.
Imam Bukhari meriwayatkan, setiba kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdur Rahman bin Auf dengan Sa`ad bin Ar-Rabi`. Setelah dipersaudarakan Sa`ad berkata kepada Abdur Rahman, “Saya termasuk orang Anshar yang berharta banyak. Itu hendak saya bagi dua separoh untukku dan separo untuk Anda. Saya juga mempunyai dua istri, lihat dan tunjuklah mana di antara dua perempuan itu yang Anda sukai, ia akan kucerai dan bila iddah-nya telah selesai silakan Anda nikahi.”
Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkati keluarga dan harta Anda. Tunjukkan saja padaku di mana pasar tempat Anda berniaga.” Atas permintaan Abdur Rahman itu Sa`ad menunjuk pasar Qainuqa`. Beberapa waktu kemudian ternyata Abdur Rahman telah mempunyai kelebihan bahan makanan seperti keju (jubn) dan minya makan (samn).
Pada suatu hari ia datang menghadap Rasul. Beliau bertanya, “Apakah masih kesepian?” Abdur Rahman menjawab, “Saya sudah beristri.” “Berapa mahar mas kawin yang engkau berikan?” “Emas sebesar biji kurma.”
Masih banyak berita-berita riwayat yang menunjukkan betapa besar perhatian kaum Anshar terhadap saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Dengan kesadaran tinggi dan persaudaraan yang tulus mereka rela mengorbankan sebagian kekayaan mereka untuk membantu kehidupan kaum Muhajirin.
Kedua, Al-Musaawaah (persamaan derajat). Rasul SAW menegakkan masyarakat di atas kaidah persamaan yang sempurna antar umat manusia, bukan hanya di antara umat Islam, tapi juga di antara elemen masyarakat di luar komunitas Islam. Tidak ada kelebihan antara seseorang dengan lainnya, tidak ada kelebihan dan keistimewaan antara si kulit putih dengan si kulit hitam, tidak ada kelebihan antara orang arab dengan bukan arab.
Dengan semangat persamaan pula, Nabi menghapus diskriminasi yang sebelumnya membelenggu kehidupan umat manusia. Dalam salah satu kesempatan beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan semangat jahiliyah, kebanggaan mereka dengan nenek moyangnya, karena kalian berasal dari Adam dan Hawa, dan sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (HR. Baihaqi)
Ketiga, Al-Ta`aawun (Saling tolong-menolong). Rasulullah SAW mengetengahkan asas kehidupan masyarakat setelah hijrah atas sikap tolong-menolog. Tolong menolong tersebut untuk kebaikan dan keutamaan, menjauhi hal yang haram, membasmi kemunkaran yang bercokol, dan mengenyahkan kebatilan serta kemusyrikan, menjaga bangunan tubuh masyarakat Islam dari penyakit-penyakit masyarakat yang bisa membawa pada kehancuran dan bercerai-berai.
Habib Ali
Akbar bin Agil, S.S.
Posting Komentar