Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Kesalehan Ritual dan Sosial

Kesalehan Ritual dan Sosial

Rasulullah pernah bersabda, “Ada tiga hal yang membahagiakan, tiga hal yang merusak, tiga hal yang mengangkat derajat dan tiga hal yang menjadi pelebur dosa.

Tiga hal yang yang membahagiakan adalah takut kepada Allah baik dalam keadaan sendiri atau di depan banyak orang, sederhana dalam kehidupan dan kemampuan menyeimbangkan antara kerelaan dan amarah. 

Adapun tiga hal yang merusak adalah sifat kikir yang berlebihan, mengikuti hawa nafsu, dan bangga pada dirinya sendiri. 

Tiga hal yang mengangkat derajat orang yang melakukan adalah mengawali mengucap salam kepada sesama, membagi makan pada tamu dan orang yang lapar dan menjalankan shalat malam sementara orang lain sedang tidur. 

Tiga amalan yang mampu melebur dosa adalah menyempurnakan wudlu hingga melebihi batas anggota yang harus dibasuh, melangkahkan kaki untuk menjalankan shalat berjamaah dan menunggu masuknya waktu shalat di masjid.

Hadits Rasulullah yang begitu panjang di atas menunjukkan bahwa betapa pendekatan kepada Pencipta tidaklah hanya diwujudkan dengan ibadah murni saja seperti yang termaktub dalam rukun Islam. Karena itulah sebenarnya sejak dimunculkannya pemilahan pemahaman saleh, menjadi saleh ritual dan saleh sosial, penulis tidak menyepakatinya. Bagi penulis kesalehan hanya bisa dimiliki oleh orang yang tidak saja sempurna secara ritual tetapi juga baik dari sisi sosial kemasyarakatan. Hadits ini sebagai bukti argumentasi saya. Rasulullah mengaitkan setiap hal yang membahagiakan, merusak, mengangkat derajat dan pelebur dosa dengan perilaku kesalehan sosial. Sederhana dalam kehidupan merupakan cermin dari usaha menghindari kehidupan berlebihan yang seringkali menciptakan kecemburuan sosial masyarakat sekitar. Coba perhatikan juga, hal yang termasuk merusak amal seseorang malah didominasi oleh perkara-perkara yang tidak mungkin menghindari interaksi sosial. Kekikiran, mengikuti hawa nafsu dan kebanggaan terhadap diri sendiri ketiganya sangat terkait erat dengan masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan orang lain.

Dalam surat al Hajj ayat 23, Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera."

Coba perhatikan bagian dari potongan ayat ini "orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh"

Penggunaan kata "dan" yang dalam bahasa arab diwujudkan dalam wawu athaf (وَ) memberikan makna li mutlaq al jam’iy yaitu keharusan berkumpul antara kata sebelum ‘dan’ (wawu) dan sesudah ‘dan’. Artinya seseorang tidak mungkin disebut beriman bila tidak beramal saleh begitu juga tidak mungkin seseorang beramal saleh tanpa keimanan. Amal disebut saleh bila didasari oleh pondasi keimanan. 

Menghindarkan pembelokan makna seperti ini sungguh penting. Karena bila pemilahan istilah saleh dengan saleh ritual dan saleh sosial tetap saja berlangsung, bisa jadi ayat 23 dari surat al Hajj diatas juga melegitimasi bahwa seorang non muslim juga bisa masuk surga bila berlaku saleh sosial (?) berperilaku baik dan care terhadap masyarakat sekitar. Begitu juga seorang muslim bisa masuk surga bila beriman meski tanpa harus beramal saleh.

Kalau pemahaman seperti ini benar, mengapa Allah berfirman sebagai berikut?

 "Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab: 21)

Bahasa suri teladan erat kaitannya dengan bahasa perilaku, bukan untuk pekerjaan hati. Artinya ayat ini memperjelas kita bahwa pendekatan kepada Allah tidak dapat diringkas hanya dengan bahasa hati (percaya!). Bukti sebuah kepercayaan harus diwujudkan dalam bentuk tindakan (action!).

Rasulullah dalam sebuah kesempatan menyampaikan: "waLlahi la yu’min (3x) man baata syabi’an wa jaaruhu jaai’an." Demi Allah tidaklah beriman (3x) orang yang semalaman dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. 

Membaca hadits ini, tentu kita semakin mantap bahwa pemilahan makna saleh dengan saleh ritual dan saleh sosial bukan tindakan yang tepat. Orang yang perilakunya baik di masyarakat tidak bisa dikatakan saleh meski baik secara sosial, karena dia tidak memiliki dasar landasan keimanan yang kuat, begitu juga orang yang memenuhi kehidupannya dengan ibadah murni tetapi tidak memiliki empati apapun kepada orang-orang sekitarnya, juga belum dapat disebut saleh.

Mengakhiri artikel ini, ada baiknya pula pembaca mencermati ayat ini: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, "Kami telah beriman". Sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al Ankabut: 2-3).




Ust.H. Mushoddaqul Umam, Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Nurul Huda Mergosono Malang dan pengasuh Jam’iyyah Shalawat Padang Ati Sawojajar Malang
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger