“Anda berguru atau mencari sahabat orang bodoh yang
tidak menuruti hawa nafsunya, lebih baik daripada berguru pada orang ‘alim yang
merelakan dirinya untuk mengikuti hawa nafsunya. Lalu ilmu macam apa yang ada
pada Ulama (cendekiawan) yang menuruti hawa nafsunya? Dan disebut kebodohan
yang mana, jika orang itu tidak menuruti hawa nafsunya?”
Inilah etika kita berguru atau bersahabat dengan seseorang, mestinya harus selektif agar berpengaruh positip dalam keseharian kita. Banyak orang pandai, alim, intelektual, tetapi sepanjang kepentingan-kepentingan dirinya lebih menonjol, sama sekali tidak patut untuk kita ikuti. Tidak peduli apakah dia ustadz, Kyai, cendekiawan muslim, ataukah seorang syeikh, manakala ia masih menuruti kepentingan nafsunya, sangat tidak layak untuk diikuti jejaknya.
Kepentingan nafsu itu seringkali justru dijadikan umpan syetan untuk berselingkuh dengan ilmu pengetahuan, kebenaran, agama, dan hal-hal yang suci. Artinya, mereka yang berselimutkan kesucian, keulamaan, kecendekiawanan, jika masih menuruti hawa nafsunya, seperti popularitas, riya’, takjub diri, ingin dipuji, takabur, egois, berarti ia tetap saja seorang yang bodoh.
Sebaliknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika
seseorang mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri
dengkinya, walau pun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah orang
yang pandai. Karena betapapun hebat ilmu seseorang, sepanjang ia masih senang
dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah menyelamatkan kita dunia hingga
akhirat.
Hamba Allah yang mampu mengekang nafsunya, walau pun ia bodoh, pasti memiliki tiga karakter:
1. Sadar dirinya.
2. Tawadlu’ (rendah hati) pada sesama.
3. Mencari kebenaran dengan jujur.
2. Tawadlu’ (rendah hati) pada sesama.
3. Mencari kebenaran dengan jujur.
Menurut Ammar, ra, jika tiga perkara berkumpul pada diri
seseorang, maka ia telah benar-benar mengakumulasi keimanannya: Sadar diri,
menyiramkan kedamaian bagi semesta, dan menginfakkan hartanya walaupun ia
miskin.
Siapa yang bersahabat dengan manusia model ini, ia akan mendapatkan tiga hal pula: Meraih kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugerah, karena seseorang itu sangat erat kaitannya dengan keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa ringan dalam hatinya, dan mendapatkan keselamatan dunia dan agamanya.
Sementara orang yang rela dengan hawa nafsunya, akan
melahirkan tiga sifat negatif. Kesombongan, tidak sadar dirinya dan aktif dengan
rasa kebanggaannya. Bersahabat atau berguru padanya bisa melahirkan tiga hal
pula: Menjadi budaknya, memayahkan diri dan terputus (tidak sampai tujuannya)
putus akhirnya. Karena ia mengklaim kebenaran dirinya, yang sesungguhnya tidak
layak. Karena itu ia tidak akan sampai meraih Ridho Allah, tidak mendapatkan
ampunan Allah, bahkan tidak mau kembali dalam segala hal kepada Allah. Karena
ia ia tidak layak untuk dikasihi.
Kalau kebetulan ia seorang yang ‘alim atau intelektual
muslim, maka ilmu pengetahuannya justru akan memperburuk kepribadiannya,.
Sebaliknya kalau ia bodoh, maka kebodohannya menjadi bencana baginya dan bagi
sahabatnya. Kalau dia pemimpin, sama sekali kepemimpinannya tidak bermanfaat
bagi dunia, agama dan akhirat. Karenanya, Sahl bin Abdullah menegaskan, “Jauhi
tiga kelompok manusia: Para pembaca Al-Qur’an yang penuh dengan gaya pamer;
orang-orang Sufi yang bodoh dan orang-orang diktator yang alpa dengan dirinya
sendiri.”
Padahal seorang sahabat itu diharapkan memberikan tiga hal:
Nasehat, Kasih sayang dan pertolongan.
Hakikat kebodohan itu sendiri beredar pada tiga hal, yaitu
:
1) Lari dari kebenaran
2) Mengikuti kebatilan
3) Memutuskan aturan dengan cara yang salah.
Inilah yang akan menimpa orang yang rela menuruti
hawanafsunya. Sebaliknya, hakikat pengetahuan (ilmu) juga beredar pada tiga
hal:
1) Beramal dengan benar
2) Menjauhi kebatilan
3) Memberikan porsi dengan kelayakannya.
Ketiga hal terakhir ini tentu tidak akan dijumpai kecuali
pada mereka yang tidak rela pada nafsunya.
Kajian Al Hikam bersama Abah Furqon
Posting Komentar