Peringatan Muharram sebagai manifestasi identitas diri,
perpindahan jasmani dan perubahan sikap mental dengan kebangkitan dari negatif
ke positif. Perubahan ini tercermin dari iman, akhlak, adab, sikap dan
perbuatan. Universalisasi dan totalisasi kehidupan manusia dengan perasaan,
fikiran dan pandangan, penilain (ke dalam diri, keluar atau pihak lain), sikap
positif dan negatif serta langkah kehidupan perjuangan harus sesuai dengan nur
Islami, bukan hanya hati kecil ataupun dhomir yang sifatnya tak berpedoman.
Firman Allah:“Saksikanlah, bahwa kami orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).” (QS 3:64).
Kenyataan yang ada bahwa “cermin-cermin” keteladanan sudah
pecah, yang terjadi adalah ideologi, kursiologi, kibologi versus Islamisasi dan
agamisasi. Selanjutnya kita jumpai “monopoli” surga, merasa paling benar,
besar, kuat, baik dan seterusnya. Kekuasaan dan kekuatan yang ada memaksakan
kebenaran palsu masa lalu untuk meneruskan atau menggantinya dengan kebatilan
terselubung. Seterusnya penjajahan lama menjelma menjadi ”penjajahan baru”.
Dari sini kita melihat ataupun membaca masa depan dengan waspada dan kritis
sekaligus menyimpulkan bahwa kemenangan dan keunggulan dalam suatu masa bukan
tanda kebenaran yang harus ditegakkan atau dibela.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana caranya dan dari
manakah kita selama ini menilai?
Dalam memandang atau menilai orang atau pihak
lain atas dasar besar-kecil, tua-muda, desa-kota dan seterusnya. Apa kriteria
Islami? Namanya? Lokasi rumahnya? Umurnya? Titelnya? Atau…? Kastanya?
Kabilahnya? Latar belakang sejarahnya? Peristiwa-peristiwa masa lalunya?
Ternyata kita perlu “bercermin” ribuan kali, dengan apa? Dengan sumber tuntunan
dan tuntutan Islami.
Kita akan sangat beruntung selama hidup dan setelah mati
bila kita selalu bersikap kritis atau mencurigai kebenaran ijtihad kita; apakah
itu cocok dengan Islam atau tidak, terutama yang tertulis jelas dalam sumbernya
yakni Al Qur`an dan As Sunnah. Dan sumber dari luar keduanya tidak menjamin
kebenarannya. Untuk itu kita janganlah mudah-mudah mengaku-ngaku “ini ajaran
Islam!”
Melihat, memandang, menyimpulkan secara sektoral, lokal,
regional atau hanya nasional, itu termasuk jahiliyah atau neo-jahiliyah, tidak
total eternal abadi. Menghindarkan diri dari mental “Katak dalam tempurung”,
membedah, membongkar jaring-jaring budaya yang salah dan keliru, meletakkan
semua makhluk (alam) pada status dan fungsi yang adil. Menghargai alam ciptaan
Allah Swt. Berupaya supaya pola pandang kasta atau neo-kasta tidak berlaku
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kenyataannya dalam alam demokrasi, sistem yang tak pernah
dan tak mungkin terealisasi. Terbukti mayoritas menjadi dominan keputusan dan
panutannya, atau keunggulan menindas minoritas. Dan minoritas plus money
politic seringkali “menggagahi mayoritas gembel.” Hendaknya berhati-hati,
jangan mudah terpesona, mabuk oleh sesuatu yang baru. Orang Jawa bilang; ojo kagetan
(jangan terkejut), ojo gumunan (jangan heran) dan ojo dumeh (jangan
mentang-mentang). Maka jangan terpesona dengan buku baru, guru baru, pengurus
baru, pendapat baru, aliran baru, makanan, minuman, pakaian baru, kaya baru,
miliuner baru, kawan baru, dan seterusnya.
KH Hasan Abdullah Sahal
Posting Komentar