Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Renungan Muharram (1)

Renungan Muharram (1)

Peringatan Muharram sebagai manifestasi identitas diri, perpindahan jasmani dan perubahan sikap mental dengan kebangkitan dari negatif ke positif. Perubahan ini tercermin dari iman, akhlak, adab, sikap dan perbuatan. Universalisasi dan totalisasi kehidupan manusia dengan perasaan, fikiran dan pandangan, penilain (ke dalam diri, keluar atau pihak lain), sikap positif dan negatif serta langkah kehidupan perjuangan harus sesuai dengan nur Islami, bukan hanya hati kecil ataupun dhomir yang sifatnya tak berpedoman. Firman Allah:“Saksikanlah, bahwa kami orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 3:64).

Kenyataan yang ada bahwa “cermin-cermin” keteladanan sudah pecah, yang terjadi adalah ideologi, kursiologi, kibologi versus Islamisasi dan agamisasi. Selanjutnya kita jumpai “monopoli” surga, merasa paling benar, besar, kuat, baik dan seterusnya. Kekuasaan dan kekuatan yang ada memaksakan kebenaran palsu masa lalu untuk meneruskan atau menggantinya dengan kebatilan terselubung. Seterusnya penjajahan lama menjelma menjadi ”penjajahan baru”. 

Dari sini kita melihat ataupun membaca masa depan dengan waspada dan kritis sekaligus menyimpulkan bahwa kemenangan dan keunggulan dalam suatu masa bukan tanda kebenaran yang harus ditegakkan atau dibela.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana caranya dan dari manakah kita selama ini menilai? 

Dalam memandang atau menilai orang atau pihak lain atas dasar besar-kecil, tua-muda, desa-kota dan seterusnya. Apa kriteria Islami? Namanya? Lokasi rumahnya? Umurnya? Titelnya? Atau…? Kastanya? Kabilahnya? Latar belakang sejarahnya? Peristiwa-peristiwa masa lalunya? 

Ternyata kita perlu “bercermin” ribuan kali, dengan apa? Dengan sumber tuntunan dan tuntutan Islami.

Kita akan sangat beruntung selama hidup dan setelah mati bila kita selalu bersikap kritis atau mencurigai kebenaran ijtihad kita; apakah itu cocok dengan Islam atau tidak, terutama yang tertulis jelas dalam sumbernya yakni Al Qur`an dan As Sunnah. Dan sumber dari luar keduanya tidak menjamin kebenarannya. Untuk itu kita janganlah mudah-mudah mengaku-ngaku “ini ajaran Islam!”

Melihat, memandang, menyimpulkan secara sektoral, lokal, regional atau hanya nasional, itu termasuk jahiliyah atau neo-jahiliyah, tidak total eternal abadi. Menghindarkan diri dari mental “Katak dalam tempurung”, membedah, membongkar jaring-jaring budaya yang salah dan keliru, meletakkan semua makhluk (alam) pada status dan fungsi yang adil. Menghargai alam ciptaan Allah Swt. Berupaya supaya pola pandang kasta atau neo-kasta tidak berlaku karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Kenyataannya dalam alam demokrasi, sistem yang tak pernah dan tak mungkin terealisasi. Terbukti mayoritas menjadi dominan keputusan dan panutannya, atau keunggulan menindas minoritas. Dan minoritas plus money politic seringkali “menggagahi mayoritas gembel.” Hendaknya berhati-hati, jangan mudah terpesona, mabuk oleh sesuatu yang baru. Orang Jawa bilang; ojo kagetan (jangan terkejut), ojo gumunan (jangan heran) dan ojo dumeh (jangan mentang-mentang). Maka jangan terpesona dengan buku baru, guru baru, pengurus baru, pendapat baru, aliran baru, makanan, minuman, pakaian baru, kaya baru, miliuner baru, kawan baru, dan seterusnya.



KH Hasan Abdullah Sahal
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger