Satu dekade yang lalu, Inul Daratista digugat ramai-ramai oleh massa
berjubah agama hingga sampai ke Majlis Ulama Indonesia. Gara-gara “pengeboran
Inul” muncul H. Rhoma Irama di garis depan, dan sejumlah Ulama yang mendatangi
DPR agar segera disahkan UU Anti Pornografi. Rupanya massa pedangdut lebih
memihak Inul daripada Bang Haji, bukan karena fatwa keagamaannya, namun soal
kejujuran beragama. Inul lebih jujur, karena dia “ngebor” semata mencari uang
di Jakarta. Tetapi Raja Dangdut itu menggunakan lambang-lambang dakwah dibalik
industri musikalnya, yang sangat tipis batasannya, apakah berdakwah melalui
musik atau membangun industri musik dengan merek dakwah?
Dalam waktu bersamaan, kiai dan budayawan, KH Mustofa Bisri (Gus Mus)
membuat lukisan heboh. Melukis lingkaran majlis dzikir, ditengahnya ada
perempuan sedang mengebor gaya Inul Daratista. Suatu kritik spiritual
yang luar biasa dalam kanvas itu, betapa banyaknya majlis dzikir yang tak lebih
dari tirai bagi syahwat para pelakunya. Mereka kehilangan Allah Swt, ketika
berdzikir, malah perpektif nafsunya yang muncul dalam ritualnya.
Ketidakjujuran seringkali menguatkan politisasi agama dan menciptakan tuhan-tuhan
semu yang menjanjikan birahi instan, untuk sekadar melupakan problema sosial,
ekonomi dan politik pada publik, adalah bentuk pelarian yang sungguh memuakkan.
Belakangan malah muncul gerakan bisnis bernuansa spiritual, kecerdasan
spiritual, sedekah berlipat duniawi, pelatihan-pelatihan pengembangan SDM
bernuansa spiritual, agar mendapatkan dua pundi-pundi sekaligus, mati
masuk syurga, sekaligus dapat untung duniawi. Gerakan yang justru
menimbulkan pembusukan esensi agama itu sendiri.
Mengapa? Karena terjadi transaksi “gaya hidup beragama”, sebagai jawaban
instan atas peluang-peluang material di celah-celah spiritual yang kososng.
Hasilnya adalah status baru dalam kehidupan sosial modern, sosok manusia dengan
gaya hidup modern, namun tetap religius dengan mainstream agar dipandang
sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Padahal ajaran agama, sama sekali
tidak mentolerir cara beragama yang riya’ dan hipokrit seperti itu.
Kasus-kasus penyimpangan atas nama agama, atau yang kebetulan dilakukan
tokoh yang berlatar agama, mengingatkan kita betapa bahaya bendera-bendera
agama dikibarkan untuk kepentingan industri ekonomi dan politik. Lebih-lebih
ketika ummat terpedaya oleh kelatahan budaya, bahwa setiap yang didukung oleh
mayoritas itu memiliki kebenaran mutlak, dan yang minoritas itu tidak lebih
dari buih sampah yang batil. Padahal kebenaran bisa didukung mayoritas, dan
bisa didukung hanya minoritas. Begitu juga sebaliknya, kebatilan.
Jika kita survey di seluruh negeri ini, merk-merk dagang dan merk “politik”
dengan bernuansa serba religius, jumlahnya hampir ratusan. Karena menurut teori
marketing, sebuah produk yang bisa melekat secara emosional setara agama, maka
produk itu benar-benar sukses di pasar. Inilah yang menarik proyek “berhala
bisnis” yang dijadikan lahan industri siapa pun yang ingin memaksa Tuhan
menuruti selera nafsunya.
Karena komoditas manusia modern telah melampaui takarannya, maka
perkembangan industri muncul dengan eksploitasi apa pun yang untuk membangun
kapitalisasi dengan segala cara. Bahkan, konsumsi-konsumsi psikhologis yang
maniak terhadap kekerasan, bisa dijadikan lahan bisnis kekerasan, dan berujung
industri perang. Konsumsi hedonikal, bisa menyeret maniak kebinatangan manusia
untuk dijadikan obyek potensial untuk industri syahwat, pemuasan perut, dan
emosi status sosial, maupun mimpi semunya.
Kekerasan, kebuasan dan kebinatangan, akan terus tumpang tindih saling
berkelindan dalam gerakan peradaban yang destruktif. Agama dan simbol
spititual menjadi sasaran paling potensial untuk dijadikan legitimator atas
usaha-usaha syahwatiah tersebut, dan sangat berbahaya jika masuk dalam bursa
pasar, sebagai spirit dari satu sisi dua mata uang globalisasi.
Agama mana pun ketika tampil dalam konstruksi verbal, formal, dan simbolik,
selalu berujung keruntuhan historinya, karena kepentingan berebut penguasaan
simbol-simbol agama tidak pernah muncul sebagai kekuatan sejarah, kecuali
sekadar buih-buih yang hebat yang menghempaskan dirinya sendiri dalam
kebudayaan yang hampa, tanpa moral. Sehina mereka yang memperdagangkan akhirat
untuk kepentingan dunianya, atau sehina mereka yang berbisnis dengan Tuhan,
karena memaksakan nafsunya untuk mengukur kriteria keabsahan Ilahi dibalik
sukses dan gagalnya urusan duniawi.
Dalam kultur “amaliah publik” (awam) di bawah, tentu lebih banyak lagi
munculnya instanisme religious untuk mengukur derajat kesucian tokoh atau
pemimpin agama. Hal ini ditandai maraknya dunia magic dan hal-hal luar
biasa yang dilatari kultur spiritual seseorang, lalu dijadikan ukuran status
kesucian, manakala instanisme duniawi bisa diproduksi oleh kekuatan
spiritualnya. Inilah bentuk-bentuk pembebasan semu penuh tipudaya
(ghurur) yang tidak membebaskan belenggu ketololan bangsa, khususnya umat
beragama.
Kisah sedih soal manipulasi keagamaan, cabulisme, dan munculnya
kepalsuan-kepalsuan spiritual, senantiasa berulang dalam kehidupan kita,
terutama ketika depressi ekonomi dan politik menjadi kabut yang tidak
menumbuhkan semangat dan harapan, maka spontanitas emosi sosial selalu
bersemburat tanpa kendali, bahkan dalam pelarian spiritualnya.
Lembaga-lembaga agama, pemerintah dan institusi pendidikan sangat
bertanggungjawab atas keberlangsungan kekuatan moral dalam beragama. Karena,
dalam Islam, institusi itu mana pun, baik pemerintahan maupun Ormas, lembaga
pendidikan, dibangun justru untuk menegakkan agama. Bukan sebaliknya,
agama dijadikan lahan formalisasi, bagi kepentingan ekonomi dan politik,
yang berujung perebutan hegemoni konflik.
Agama bukanlah hiburan spiritual yang dipertontonkan. Spiritualitas agama
bukan menjadi pintu gerbang bagi para pemburu harta karun, apalagi untuk
membangun piramida tahta. Jika memegang amanah agama ini seperti memegang bara,
janganlah memilih salju duniawi melalui jubah agama. Karena anda akan sulit
membedakan, mana nafsu menghadap Allah Swt, dan mana cinta kepada Allah Swt.
Majalah GATRA edisi 16 / XVIII oleh KH. M. Luqman Hakim, Ph D
Posting Komentar