Telah
umum dalam masyarakat kita, selesai jenazah dimakamkan salah seorang dari pihak
keluarga mayit duduk disamping makam lalu mulai melafadzkan bacaan talqin bagi mayit.
Namun dewasa ini, ada satu kelompok
yang mengklaim dirinya paling mengikuti al-Qur’an dan sunnah dengan
pemahaman para sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa talqin mayit adalah bid’ah
karena tidak memiliki landasan dalam syari’at serta tidak bermanfaat bagi si
mayit. Permasalahan semacam ini telah menjadi polemik dalam masyarakat,
benarkah talqin mayit tidak memiliki landasan syari’at padahal telah dilakukan
oleh para ulama’ pendahulu kita ?
Oleh
karena itu, kami akan membahas tentang dalil-dalil yang menjadi landasan
talqin mayit agar bisa memberikan kejelasan pada masyarakat.
Salah
satu dasar hukum mengenai talqin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, imam Abi Dawud, dan imam An Nasai :
لقنوا موتاكم لا
إله إلا الله
“Talqinilah
orang-orang mati kalian dengan لا إله
إلا الله “
Memang
mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud lafadz موتاكم dalam hadits diatas orang-orang yang hampir mati
bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan
arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya.
Akan
tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya
yaitu orang yang telah mati, karena menurut kaidah bahasa arab, untuk
mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya diperlukan adanya qorinah
(indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya bukan makna aslinya.
Sebagai
contoh jika kita katakan “talqinillah mayit kalian sebelum matinya”
maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah yang mengindikasikan
bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini bukan makna aslinya
(yaitu orang yang telah mati) tapi makna majasnya (orang yang hampir mati).
Sedangkan
dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz
موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita
mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati
bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama
seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.
Forum Santri Sunniyah Salafiyah
Posting Komentar