Termasuk menentang takdir adalah manakala
seseorang menjelekkan saudaranya dengan perkara (catat) yang di luar
kehendaknya (Imam Abdullah
Al Haddad).
Dalam bentang kehidupan umat manusia pasti ada yang hidup
dalam keadaan sehat, sakit, kaya, miskin, demikian seterusnya rona-rona hidup.
Mereka ada yang catat, postur tubuhnya kurus kerempeng, atawa hidup dalam
kepapaan. Akan tetapi semuanya tidak dinilai oleh Allah dari segi fisiknya.
Maka dari itu, setiap sikap yang berwujud dalam meremehkan,
menghina dan memandang sebelah mata orang-orang yang cacat, sakit, dan miskin
di atas termasuk tindakan yang berbahaya yaitu menentang takdir.
Siagakan diri kita dari menghina orang lain. Tidak ada
jaminan bahwa diri kita yang dha`if ini lebih baik dari orang yang kita lecehkan. Bisa jadi, dalam
pandangan manusia, seseorang itu jelek fisiknya, melarat namun dia malah
mendapatkan kemulian dari kekurangannya tersebut. Itu sebabnya baginda Nabi saw
menerangkan dalam sebuah haditsnya :
الفُقَرَاءُ جُلَسَاءُ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Orang-orang fakir itu adalah “teman
duduknya” Allah di hari kiamat.”
Bersandar dari hadits di atas, kita diajari ternyata
kemelaratan justru menjadi sebab kemuliaan. Oleh karena itu, banyak didapati di
antara hamba-hamba Allah swt yang tergolek sakit yang dengan sakitnya tersebut
ia meraih derajat di sisi Allah. Sebagai contoh cukup kiranya kisah Nabi Ayyub,
sosok Nabi yang ditimpa aneka macam penyakit yang ternyata mendapat kemulian.
Lihat pula kabar sahabat Nabi yang bernama Imran bin Hushain, ia meraih maqam
sebab kesabarannya ditimpa penyakit. Dia terkena penyakit beser hingga tergolek
tidak berdaya.
Suatu ketika dia berkata kepada Nabi yang intinya meminta
doa kesembuhan, “Ya Rasulullah, doakan aku ini supaya sembuh.” Nabi memberi
pilihan, “Imran kalau engkau kudoakan, engkau akan disembuhkan oleh Allah tapi
kalau engkau (mau) bersabar, maka malaikat mendatangimu setiap hari guna
memberi salam.” Tanpa ragu-ragu lagi, Imran mengambil pilihan kedua yang ditawarkan
oleh Rasul.
Mungkin, kita sering merasa iba kepada mereka yang tertimpa
suatu penyakit namun sebenarnya orang yang sakit mendapatkan pangkat dari
Allah. Karenanya, jangan lagi ada perasaan yang menggelayut di benak bahwa yang
sehat lebih mulia daripada yang sakit; yang kaya lebih mulia daripada
yang melarat. Kita sudah tahu kedudukan Imran bin Hushain yang saban hari
didatangi malaikat juga kesabaran Nabi Ayyub yang diganjar dengan kedudukan
mentereng di sisi-Nya, tinggal kita sekarang, masihkah sampai hati kita
mengina orang lain, senangkah diri ini bila saudara kita mendapat musibah? Ibnu
Abbas memberikan komentarnya tentang firman Allah :
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan
melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat
semuanya; dan mereka dapati apa yang Telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan
Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS.
[18]:49).
Kata Ibnu Abbas, tidak
meninggalkan yang kecil adalah At Tabassum bil istihza` bil Mukmin
(senyuman sinis yang bernada hinaan kepada orang mukmin), dan tidak (pula) yang besar adalah Al Qahqahah (tertawa terbahak-bahak
menghina orang muslim).
Dalam firman-Nya yang lain,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka
Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
Habib Ali Akbar Bin Agil
Posting Komentar