Bagi Umat Islam, sejenak merenungi diri untuk mengubah kondisi kearah yang lebih baik adalah misi suci tiada henti. Disini, di bumi ini, tugas kita adalah pesan suci langit kepada manusi. Menyampaikan keluhuran, kesucian, dan kedamaian hingga terasa nyata oleh seluruhalam semesta. Itulah mengapa Islam memegang teguh prinsip “rahmatan lil alamin”. Transformasi diri dalam perspektif Islam tidak hanya di lakukan pada saat-saat tertentu, tetapi sepanjang hayat di kandung badan. Dalam bahasa lain, seumur hidup, perubahan ke arah yang lebih baik harus memenuhi visi dan misi hidupnya. Tujuan akhir (ultimate goal) Umat Islam adlah terus bekerja keras, demi menggapai kasih sayang (al-ridha) Allah, pencipta kehidupan ini.
Begitu juga ketika DIA (Allah) menciptakan waktu. Itu
adalah wujud dari kasih sayang-Nya kepada umat manusia. Dengan perputaran
waktu, setiap manusia yang sadar mampu menghargai pemberian-Nya. Salah
satunya keberkahan usia. Tahun kemarin, tanggal di kalender adalah tanggal yang
berada di tahun 1432 H. Sekarang, tahun itu berubah menjadi 1433H. Begitu pun
dengan tahun masehi, sekarang berganti tahun menjadi 2012. Lantas, Sudahkah
kita bertafakur?
Tafakur, adalah
istilah arab untuk menyebutkan aktivitas berpikir. Di dalamnya, ujar pakar
linguistik, ada upaya reflektif, kontemplasi yang hati-hati dan sistematik.
Tafakur juga bisa dapat menjembatani pandangan hidup manusia, bahwa ada yang di
sebut dunia dan akhirat, bahkan ada mahluk dan pencipta. Tafakur di sebutkan
Al-qur’an sebanyak 18 kali yang di gunakan sebagai “kata kerja” ketimbang “kata
benda”. Artinya, menunjukan bahwa tafakurmerupakan suatu proses, bukan hanya
konsepsi abstrak.
Jamal bahi dan Mustapha Tajdin, dalam buku Islamic
creative Thinking (Mizania, 2008: 17-20), menurut istilah lain dari
tafakur. 1) Nazhar, yakni memperhitungkan, memerhatikan, dan
memikirkan; 2) Tabashshur, yang berarti memahami; 3) Tadabbur,
yaitu merenungkan; 4) Tafaqquh, berarti memahami sepenuhnya,
menangkap makna, dan sungguh-sungguh mengerti; 5) Tadzakur,
ialah mencamkan dalam pikiran atau hati; 6) I’tibar, di
artikan belajar, mengambil atu memetik pelajaran dari sejarah, pengalaman,
dengan maksud agar tidak mengulangi kesalahan; 7) Ta’akul,
adalah menggunakan pikiran dengan benar; 8) Tawassun,
merupakan aktivitas membaca tanda-tanda tersirat.
Dari beragamnya sinonim tafakur dalam Alqur’an, satu
yang harus kita garis bawahi, yakni menggunakan akal dan pikiran untuk
merenung, berefleksi, dan berpikir tentang bangsa adalah inti dari penciptaan
waktu oleh-Nya. Sebagai sang pencipta, Allah SWT, mewajibkan kita untuk mengisi
waktu sebaik mungkin. Pergantian tahun, bukan berarti kita harus melupakan
tahun-tahun yang lalu. Namun, terus tenggelam pada masa lalu pun tidak akan
mengubah apa-apa, kecuali kekecewaan. Oleh karena itu, dalam Islam, hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin, bukan lantas meratapi apa yang telah di
perbuat pada tahun yang lalu.
Detik-detik Pergantian tahun ini adalah awal yang baik
untuk bertafakur tentang kondisi bangsa, negara, agama, dan laku lampah pribadi
kita. Orang yang dapat membaca dan menangkap tanda-tanda yang di berikan-Nya,
adalah individu yang dapat mengubah dirinya kearah yang lebih baik. Tentunya
dengan memanfaatkan potensi akal dan hati yang di anugerahkan-Nya kepada
seluruh umat manusia. Kesejatian muslim dan muslimah akan terwujud seandainya
kita mengetahui segala kesalahan di masa lalu, dan berupaya mengubahnya menjadi
lebih baik. Dalam hal ini, Tafakur bisa berarti upaya intelektual untuk mengubah
diri, masyarakat, bahkan Dunia. Tetapi, jangan melupakan bahwa di samping
bertafakur, kita juga mesti memanjatkan do’a kepada-Nya.
Ali Syari’ati berpandangan, tanda dari kehausan dan
kasmarannya hati untuk melakukan mikraj keabadian. Pendakian ke puncak
kesuksesan yang mutlak, dan perjalanan memanjat dinding keluar dari batas alam
fisik (mundus sensibilis). Artinya, do’a adalah sarana perlawanan terakhir; di
saat semua potensi perlawanan yang lain telah di babat habis. Do’a adalah
raison d’etre kebadian spirit manusia untuk keluar dari ancaman bencana
kepunahan. Pada zaman Salafushalihin, masyarakat kota basrah, Irak, kedatangan
ulama shaleh, Ibrahim bin Adham. Waktu itu, warga kota Basrah sedang menghadapi
kemelut sosial yang tak kunjung reda. Melihat ulama besar kharismatik yang
langka itu, mereka tidak menyia-nyiakannya untuk bertanya. “Wahai abu Ishak,
Allah berfirman dalam Alqur’an agar kami berdo’a. Kami sudah bertahun-tahun
berdo’a, tapi kenapa tidak di kabulkan?” tanya mereka.
Ibrahim bin Adham menjawab, “wahai penduduk Basrah, hati
kalian mati dalam beberapa perkara, bagaimana mungkin do’a kalian akan di
kabulkan. Kalian mengakui kekuasaan Allah, tapi tidak memenuhi hah-hak-Nya.
Membaca Alqur’an, tapi tidak mengamalkannya. Mengakui cinta keada Rasul, tapi
meninggalkan sunahnya. Membaca taawudz, berlindung kepada Allah dari setan yang
di sebut musuh, tetapi setiap hari memberi makan setan dan mengikuti
langkahnya”. Terakhir, ia mengatakan, “Wahai penduduk Basrah, ingatlah sabda
Nabi. Berdo’alah kepada Allah, tetapi kalian harus yakin akan di kabulkan.
Hanya saja kalian harus tau bahwa Allah tidak berkenan mengabulkan do’a dari
hati yang lalai dan main-main”.
Ust. Muhammad Mukhlis
Posting Komentar