Konsep pembagian Tauhid menjadi tiga akan batal pula, apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya dengan hadits
shahih berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ
عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ) قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ
رَبِّيَ اللهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم. (رواه مسلم 5117).
Dari al-Barra' bin Azib, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Allah
berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu", (QS. Ibrahim : 27). Nabi bersabda, "Ayat ini turun
mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, "Siapa Rabb (Tuhan)mu?"
Lalu dia menjawab, "Allah Rabbku, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Nabiku." (HR. Muslim, 5117).
Coba perhatikan, Hadits di atas
memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada si
mayit tentang Rabb (Tuhan Rububiyyah), bukan Ilah (Tuhan Uluhiyyah), karena
kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara
Tauhid Uluhiyyah dengan Tauhid Rububiyyah.
Seandainya pandangan Ibn Taimiyah
dan Wahabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu
benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan,
"Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?", bukan "Man Rabbuka
(Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?" Atau mungkin keduanya akan menanyakan semua,
"Man Rabbuka wa man Ilahuka? Ternyata pertanyaan tersebut tidak terjadi.
Apa sebenarnya makna yang
tersembunyi (hidden meaning) dibalik pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut?
Apabila diteliti dengan seksama, dibalik pembagian tersebut, maka ada dua
tujuan yang menjadi sasaran tembak Ibnu Taimiyah dan Wahabi:
Pertama, Ibn Taimiyah berpendapat
bahwa praktek-pratek seperti tawassul, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain
yang menjadi tradisi dan dianjurkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk bentuk kesyirikan dan
kekufuran.
Nah, untuk menjustifikasi pendapat ini, Ibn Taimiyah menggagas
pembagian Tauhid menjadi tiga, antara lain Tauhid Rububiyyah dan Tauhid
Uluhiyyah. Dari sini, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa sebenarnya keimanan
seseorang itu tidak cukup hanya dengan mengakui Tauhid Rububiyyah, yaitu
pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta
seisinya adalah Allah semata, karena Tauhid Rububiyyah atau pengakuan semacam
ini juga dilakukan oleh orang-orang Musyrik, hanya saja mereka tidak mengakui
Tauhid Rububiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah.
Oleh karena itu, keimanan seseorang akan sah apabila disertai Tauhid
Rububiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah.
Kemudian setelah melalui pembagian
Tauhid tersebut, untuk mensukseskan pandangan bahwa praktek-praktek seperti
tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain adalah syirik dan
kufur, Ibn Taimiyah membuat kesalahan lagi, yaitu mendefinisikan ibadah dalam
konteks yang sangat luas, sehingga praktek-praktek seperti tawassul,
istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain dia kategorikan juga sebagai
ibadah secara syar'i.
Padahal itu semua bukan ibadah, tetapi bagian dari ghuluw
yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dan Wahabi. Dari sini Ibn Taimiyah kemudian
mengatakan, bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk
dengan para wali dan nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar
Tauhid Uluhiyyah, sehingga dia divonis syirik.
Tentu saja paradigma Ibn Taimiyah tersebut
merupakan kesalahan di atas kesalahan.
Pertama, dia mengklasifikasi Tauhid
menjadi tiga tanpa ada dasar dari dalil-dalil agama.
Kedua, dia
mendefinisikan ibadah dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal,
yaitu menilai syirik dan kufur praktek-praktek yang telah diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Dan
secara tidak langsung, pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut berpotensi
mengkafirkan seluruh umat Islam sejak masa sahabat. Akibatnya yang terjadi
sekarang ini, dengan mudah orang memvonis musyrik, murtad, bahkan kafir kepada
orang-orang yang jelas-jelas sudah bersyahadat dan benar-benar beragama islam.
Diambil dari Diskusi Ust. M. Idrus Ramli dengan Ustadz dari kelompok Wahabiyah
Posting Komentar