Setiap rasul yang diutus Allah mempunyai ujian, demikian pula dengan umatnya. Masing-masing memiliki ujiannya sendiri. Di balik setiap ujian itu tentu ada hikmah yang patut direnungkan dan dijadikan pegangan dalam kehidupan. Berkenaan dengan itu, kajian kita kali ini akan membicarakan ihwal ujian umat Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang beliau sendiri katakan, dan hal-hal yang terkait dengannya.
Dari Ka‘ab bin Iyadh RA, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya masing-masing umat ada ujiannya, dan ujian umatku adalah harta kekayaan’.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Zuhud bab tentang Fitnah Umat ini Adalah Harta.
Allah SWT menjadikan harta kekayaan bagian dari perhiasan kehidupan dunia dan Dia menjadikan dalam diri manusia kecenderungan dan kesenangan untuk mengumpulkan harta.
Kata-kata “fitnah” yang tersebut dalam hadits di atas, sebagaimana dikatakan Al-Ashfahani, artinya adalah ujian atau cobaan dalam hal kebaikan maupun keburukan. Ujian bagi umat Nabi Muhammad SAW adalah kekayaan. Cobaan ini adakalanya bisa dihadapi dengan baik. Jika mereka diuji dengan diberikan rizqi berupa harta yang banyak, lalu digunakan dalam ketaatan kepada Allah SWT, tentu ujian itu menjadi baik baginya.
Namun ujian ini pada umumnya tidak bisa dihadapi dengan baik. Jika dianugerahi harta yang banyak, mereka lalai dari bersyukur kepada Yang Maha Memberi rizqi. Jika diuji dengan sedikit harta, mereka tak bersyukur, bahkan secara tak langsung mengutuk dan mencaci Tuhan. Inilah yang dikatakan Imam Al-Haddad dalam Al-Fushul al-‘Ilmiyyah sebagai musibah keduniawian yang membuat luput umat ini dari sikap bersyukur, bahkan menantang Allah Azza wa Jalla. Inilah makna sesungguhnya ucapan Nabi SAW, “Kemiskinan hampir membawa kepada kekufuran.” Wal ‘iyadzu billah.
Dari Abu ‘Amr (ada yang berpendapat Abu Abdillah atau Abu Laila-Utsman bin Affan RA), bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada hak bagi anak Adam kecuali tiga hal ini: rumah yang ia huni, pakaian yang menutupi auratnya, dan roti kering serta air.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Hadits ini juga diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Zuhud tapi dalam bab Tidak Ada Hak bagi Anak Adam kecuali Tiga Hal.
Julukan (kun-yah) bagi Sayyidina Utsman bin Affan RA memang banyak. Dalam kitab Usud al-Ghabah disebutkan beberapa di antaranya, seperti “Abu Abdillah”, “Abu Laila”, dan “Abu `Amr”, karena ia memiliki banyak anak. Tapi julukan yang tepat adalah “Abu Abdillah”, karena Abdillah adalah anak laki-lakinya yang sulung, buah hatinya bersama Sayyidah Ruqayyah binti Muhammad SAW.
Apa yang disebutkan Nabi dalam haditsnya itu dimaksudkan agar seseorang berusaha untuk memenuhi tiga kebutuhan mendasar itu. Bila ia memperoleh ketiga hal tersebut, itu sudah cukup baginya. Jika seseorang memiliki sesuatu di luar itu, ia tergolong lebih dari cukup. Kebutuhan primer bagi seorang manusia, menurut hadits di atas, utamanya pada tiga hal tersebut, yakni tempat tinggal, pakaian untuk menutupi auratnya di kala shalat maupun pakaian keseharian sesuai syari’at, dan makanan yang sederhana dan cukup, dan tak ada yang lebih dari itu.
Dari Abdullah bin Asy-Syikhkhir RA, bahwasanya ia berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW dan beliau sedang membaca ayat ‘Alhakumut-takatsur’, lalu beliau berkata, ‘Anak Adam berkata: Ini hartaku, ini hartaku. Wahai anak Adam, apakah ada harta yang kamu miliki kecuali apa yang kamu makan kemudian habis, atau apa yang kamu pakai yang kelak akan rusak, atau apa yang kamu sedekahkan yang kelak menjadi simpananmu?’.”(Diriwayatkan oleh Muslim). Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam permulaan kitab Zuhud dan Kelembutan Hati.
Apa saja yang dilakukan manusia untuk mengumpulkan harta dalam kehidupannya di dunia ini sebagai bekal kebutuhannya, jika berlebihan, sesungguhnya hanya membuatnya berkedudukan seperti budak, yang diperbudak oleh apa yang dicarinya dan disimpannya, berupa kekayaan itu.
An-Nasa’i meriwayatkan, Rasulullah SAW menuntaskan bacaan surah At-Takatsur terlebih dahulu, baru ia menyampaikan kata-katanya tersebut kepada Abdullah. Demikianlah memang adab dalam berinteraksi dengan Al-Quran.
Perkataannya ini menjelaskan bahwa manusia acapkali menyebut-nyebut harta kekayaan yang dimilikinya, seperti “Ini rumahku yang kubeli”, “Ini mobilku yang kuperoleh”, “Ini tanahku yang kudapat dari...”, dan seterusnya. Padahal apa yang disebut-sebutnya, sebagaimana disabdakan Nabi SAW, tak lebih dari sesuatu yang dinikmatinya sementara dan kelak akan punah atau rusak. Kesombongan manusia dengan perkataannya itu tanpa disadarinya akan berakhir kepada kepunahan. Mengapa? Karena, tak ada yang abadi, dan itu semua hanyalah titipan dari Allah SWT. Kecuali, bila apa yang dimilikinya itu ia gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti sarana untuk beribadah, bersedekah, dan menafkahkannya di jalan yang diridhai Allah Ta`ala. Jika demikian, semua harta itu akan menjadi bekal simpanan yang berguna saat di hari perhitungan amal di akhirat.
Betapa indahnya ungkapan ini untuk direnungkan, ”Jadikanlah apa yang kamu miliki sebagai simpananmu di sisi Allah, dan jadikanlah Allah sebagai Simpanan bagi anak-anakmu.”
Majalah Alkisah
Posting Komentar