Sebagai
orang islam, kita mesti menyakini bahwa kita harus melalui tahap iman, islam
dan ihsan. Setelah kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kita juga harus
mengetahui serta mengerjakan syari’at, seperti shalat, puasa, zakat, haji, juga
mengikuti apa yang diperintahkan Allah SWT serta menghindari apa yang
dilarang-Nya.
Kalau semua kewajiban tersebut sudah dikerjakan, apakah urusannya sudah selesai? Belum. Karena kemudian akan muncul pertanyaan: Untuk apa beribadah, seperti shalat?
Nah,
jawabannya ada dalam thariqah. Sebab thariqah itu menyingkap ma’rifat di balik
ibadah syari’at. Contohnya, pengetahuan di balik ibadah shalat, atau lebih luas
lagi pengetahuan di balik syari’at islam.
Seharusnya, orang yang ingin berthariqah sudah mafhum dalam
hal syari’at. Karena itulah, majelis pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin, karya
Imam Al-Ghazali, di Majelis kanzus Shalawat Pekalongan, misalnya, tidak membuka
acara tanya jawab tentang syari’at. Misalnya, mengapa shalat Maghrib tiga
rakaat, isya’ empat rakaat, dan Shubuh dua rakaat? Mengapa puasa dimulai dari
waktu shalat Subuh hingga masuk waktu maghrib? Itu adalah syari’at, yang perlu
dimengerti lebih dulu dasar dan ketentuannya. Kalau jama’ah sudah mengetahui syari’at dengan baik, jalan
selanjutnya baru thariqah.
Dalam perjalanan waktu mempelajari syari’at, bisa saja
muncul pertanyaan : Mengapa kita harus shalat, puasa, dan lainnya? Mereka ingin
mengetahui apa yang ada di balik ibadah yang mereka lakukan.
Saat seseorang sudah perlu kepada kepada kepada ma’rifat,
yaitu pengetahuan di balik syari’at islam, saat itulah ia masuk thariqah. Dan
kalau ia menganggap wajib memperoleh pengetahuan itu, ia wajib memasuki
thariqah.
Jadi, thariqah sebenarnya bukan sekadar orang membaca
wirid. Yang lebih penting adalah mendapatkan pengetahuan terhadap ibadah-ibadah
yang kita lakukan. Wirid dan lainnya sekedar latihan dan ketekunan, supaya kita
lebihdekat kepada Allah, Dzat Yang Memberikan pengetahuan ma’rifat kepada
manusia.
Manusia harus menyadari atau mengetahui secara mendasar
bahwa ia adalah makhluk (yang diciptakan) Khaliq (Pencipta, Allah). Hubungannya
dengan pertanyaan “Mengapa kita melakukan shalat?”, karena, selain itu sebagai
perintah Allah, dalam shalat kita juga mengetahui (ma’rifat) bahwa diri kita
makhluk. Sudah menjadi kewajiban makhluk untuk menyembah, mengabdi, dan tunduk
kepada penciptaan-nya.
Inti shalat adalah do’a. Jadi, orang yang berdo’a kepada
Allah menyadari bahwa dirinya makhluk, yang lemah dan butuh pertolongan serta
lindungan dari Allah, sebagai Dzat Yang Maha Memberi pertolongan dan
perlindungan.
Hanya saja, manusia memiliki sifat lalai (ghafiah). Maka
shalat dan ibadah lainnya, seperti wirid dan dzikir, serta latihan lainnya,
bertujuan untuk terus mengingatkan manusia akan hakikat dirinya, sebagai
makhluk, yang diciptakan oleh Khaliq. Dengan begitu, semua ibadah yang
dilakukan akan dilaksanakan dengan ikhlas. Lillahi ta’ala, hanya karena Allah
Ta’ala. Bukan karena alasan untuk harta benda, kekuasaan, atau kepentingan duniawi
lainnya.
Habib Luthfi Bin Yahya
Posting Komentar