Berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam hadits-hadits maupun dalam kitab-kitab fiqih, semua shalat, termasuk Isya, paling utama dikerjakan di awal waktu. Namun, karena shalat merupakan kewajiban yang waktunya itu diperluas (sesuai masing-masing shalat), boleh saja, artinya tidak berdosa, seseorang melakukan shalat tidak di awal waktu, selama masih di dalam waktu yang ada. Harus dibedakan antara boleh dan yang utama. Tentu saja, jika dalam urusan-urusan dunia, kita menginginkan yang terbaik, sudah seharusnya dalam urusan-urusan ibadah kita pun mengambil yang utama.
Khusus mengenai shalat Isya, memang ada hadits-hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW terkadang mengerjakannya di awal waktu dan terkadang tidak. Namun bila beliau mengakhirkannya (mengerjakannya di tengah malam), beliau tidak suka tidur sebelumnya atau bercakap-cakap sesudahnya, dan beliau tetap melakukannya di masjid secara berjama’ah.
Di dalam kitab Fath Al-Mu‘in disebutkan, “Disunnahkan menyegerakan shalat, walaupun Isya, pada awal waktunya, berdasarkan hadits, ’Sebaik-baik perbuatan adalah shalat di awal waktunya’.” Disunnahkan pula mengakhirkannya (menundanya) dari waktu awal apabila yakin akan ada jama’ah (untuk melakukan shalat jama’ah, walaupun satu orang) di tengah-tengah waktu itu, meskipun menundanya itu sampai agak terlambat asalkan waktu shalat belum sempit (masih cukup waktu shalat), atau karena zhan (sangkaan yang kuat) apabila waktunya tidak sampai terlalu terlambat menurut urf (menurut pandangan umum), tetapi bukan karena ragu (antara keyakinan dan lawannya sama kuat). Demikian keterangan dalam kitab Fath Al-Mu‘in.
Selanjutnya di dalam kitab tersebut juga dikatakan, ”Dan jama’ah yang sedikit di awal waktu lebih utama daripada jama’ah yang banyak di akhir waktu.”
Di bagian yang lainnya dalam kitab yang sama dikatakan, ”Dimakruhkan tidur setelah datang shalat sedangkan ia belum mengerjakannya sekiranya ia memiliki dugaan yang kuat dapat bangun sebelum sempit waktunya, baik karena kebiasaan (artinya, ia biasanya dapat bangun) atau karena dibangunkan orang lain. Tetapi jika ia syak (antara keyakinan dengan ragu sama kuatnya) dapat bangun (sebelum waktunya sempit, apalagi lewat), haram hukumnya tidur yang bukan karena ketiduran.”
Jadi, seandainya waktu isya telah masuk lalu seseorang tidur dengan sengaja sebelum melakukannya dan ia yakin atau punya dugaan yang kuat akan dapat bangun melakukan shalat isya sebelum waktunya sempit atau lewat, hukumnya makruh. Tetapi seandainya tidak yakin dan tidak pula punya dugaan yang kuat akan dapat bangun untuk mengerjakannya, hukum tidur setelah masuk isya sedangkan shalat isya belum dilakukannya adalah haram. Jadi, yang dibolehkan untuk tidur setelah masuk waktu shalat Isya adalah bila ia yakin seratus persen atau sangat kuat dugaannya. Namun bila ragu dapat bangun, hukumnya haram.
Berdasarkan uraian di atas, seandainya pun shalat Isya dilakukan agak malam, tidak di awal waktu, sebaiknya tetap dilakukan secara berjama’ah dan sebaiknya jangan tidur terlebih dahulu kecuali jika terpaksa dan yakin atau punya dugaan yang kuat dapat bangun sebelum waktunya habis.
Mengenai apakah sah seseorang melakukan shalat sedangkan ia ragu apakah waktu shalat sudah masuk ataukah belum, menurut keterangan dalam kitab Fath Al-Mu‘in juga, shalatnya tidak sah. Ia harus tahu bahwa waktu shalat telah masuk, baik dengan keyakinan seratus persen maupun dengan dugaan yang kuat. Tetapi bila ragu, shalatnya tidak sah, meskipun ternyata ketika ia mengerjakannya waktu shalat sudah masuk.
Majalah AlKisah
Posting Komentar