Pada bulan Sya’ban, di kalangan masyarakat kita
ada pula tradisi ziarah kubur, yang di sebagian daerah dikenal dengan tradisi
nyadran. Rasulullah juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam
nishfu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim
al-Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:
وَفِيْ
فَضْلِ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ أَحَادِيْثُ أُخَرُ مُتَعَدِّدَةٌ وَقَدِ اخْتُلِفَ
فِيْهَا فَضَعَّفَهَا اْلأَكْثَرُوْنَ وَصَحَّحَ ابْنُ حِبَّانَ بَعْضَهَا وَخَرَّجَهُ
فِيْ صَحِيْحِهِ وَمِنْ أَمْثَلِهَا (حَدِيْثُ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَقَدْتُ النَّبِيَّ
فَخَرَجْتُ فَإِذًا هُوَ بِالْبَقِيْعِ رَافِعًا رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ
: أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُوْلُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ : إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا
فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ) خَرَّجَهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ
وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ.
“Mengenai keutamaan malam nishfu Sya’ban, ada sejumlah hadits-hadits
lain yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian
hadits-hadits itu dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam
Shahih-nya. Hadits terbaik di antara hadits-hadits tersebut adalah, hadits ‘Aisyah yang
berkata, “Aku kehilangan Nabi , lalu aku keluar mencarinya, ternyata beliau
ada di makam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke langit. Beliau berkata, “Apakah kamu
khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-wenang kepadamu?” Aku
menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira engkau mendatangi sebagian
isteri-isterimu.” Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah turun pada malam nishfu Sya’ban ke langit
dunia, lalu mengampuni orang-orang yang jumlahnya melebihi jumlah bulu-bulu
kambing suku Kalb.” (HR al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn
Majah).
Tradisi lain yang juga berlangsung di
tengah-tengah masyarakat pada malam nishfu Sya’ban adalah shalat sunnat secara
berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak
generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
وَقَالَ
الشَّافِعِيُّ : بَلَغَنَا أَنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْ خَمْسِ لَيَالٍ: لَيْلَةِ
الْجُمْعَةِ وَالْعِيْدَيْنِ وَأَوَّلِ رَجَبٍ وَنِصْفِ شَعْبَانَ قَالَ: وَأَسْتَحِبُّ
كُلَّ مَا حُكِيَتْ فِيْ هَذِهِ اللَّيَالِيْ، وَلاَ يُعْرَفُ لِلإِمَامِ أَحْمَدَ
كَلاَمٌ فِيْ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَيُتَخَرَّجُ فِي اسْتِحْبَابِ قِيَامِهَا
عَنْهُ رِوَايَتَانِ مِنَ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِيْ قِيَامِ لَيْلَتَيِ الْعِيْدِ
فَإِنَّهُ فِيْ رِوَايَةٍ لَمْ يَسْتَحِبَّ قِيَامَهَا جَمَاعَةً لأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
عَنِ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ وَاسْتَحَبَّهَا فِيْ رِوَايَةٍ لِفِعْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ يَزِيْدِ بْنِ اْلأَسْوَدِ وَهُوَ مِنَ التَّابِعِيْنَ فَكَذَلكَ قِيَامُ لَيْلَةِ
النِّصْفِ لَمْ يَثْبُتْ فِيْهَا شَيْءٌ عَنِ النَّبِيِّ وَلاَ عَنْ أَصْحَابِهِ وَثَبَتَ
فِيْهَا عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَعْيَانِ فُقَهَاءِ أَهْلِ الشَّامِ.
“Al-Syafi’i berkata, “Kami mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima malam, yaitu
malam Jum’at, malam hari raya, malam 1 Rajab dan malam nishfu Sya’ban.” Al-Syafi’i berkata, “Aku
menganjurkan semua yang diceritakan pada kelima malam ini.” Sementara
tidak ditemukan pernyataan dari Imam Ahmad mengenai malam nishfu Sya’ban. Tetapi
kesunnatan ibadah (shalat dan semacamnya) pada malam itu dapat dianalogikan
terhadap dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya.
Dalam satu riwayat, Ahmad tidak menganjurkan ibadah (shalat) berjamaah pada
malam hari raya karena tidak pernah dikutip dari Nabi dan para sahabat.
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menganjurkan
shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bin
al-Aswad –ulama generasi tabi’in- telah melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada
malam nishfu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabat. Tetapi ada
riwayat dari sekelompok tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat
sunnat secara berjamaah.”
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal
yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal
ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah, berkata:
وَقَالَ
ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا
فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ
قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ
لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ
لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ
الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت
النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى
الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ .
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi
masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah telah membiarkan Ka’bah dan
berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…”
Sayyidina Umar
berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan
menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena
masyarakat mengingkarinya.
Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang
dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya
melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat
orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla
pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir
orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.”
Pustaka Ilmu Sunniyyah Salafiyyah
Posting Komentar