Para Imam bersepakat, bahwa jual beli itu sah jika dilakukan oleh orang yang sudah
dewasa, bebas memilih (tidak terpaksa) dan bebas mengelola hartanya. Sedangkan
untuk tindakan pemerintah yang membeli tanah rakyat harus sesuai dengan harga
yang pantas atau memadai, dan itu semua dilakukan demi kepentingan umum.
Dalam
kitab Al Asybah wan Nadhair, hlm. 83, dijelaskan:
إذا كا ن فعل
الا مام مبنيّا على المصلحة فيما يتعلّق بالا مو ر العا مّة لم ينفّذ امره شرعا
إلاّ إذا وافقه فإن خالفه لم ينفّذ. ولهاذا قال الا مام ابو يوسف في كتاب الخراج
من باب إحيا ء الموات: وليس للإ مام أن يخرج شيئا من يد أحد إلاّ بحقّ ثا بت معروف.
Jika tindakan imam itu didasarkan kepada kepentingan umum, maka secara syar’i perintahnya tidak boleh dilaksanakan kecuali sesuai dengan kepentingan umum tersebut. Dan jika bertentangan, maka tidak boleh dilaksanakan.
Oleh karenanya, Imam Abu
Yusuf dalam Kitab Al Kharraj min Babi Ihyail Mawat menyatakan, imam tidak boleh
mengeluarkan apapun dari tangan siapapun kecuali dengan hak yang (berkekuatan
hukum) tetap dan ma’ruf.
Akan tetapi,
dalam buku Ahkamul Fuqaha, seperti yang dikutip dari kitab Al Ahkamus
Sulthaniyyah li Ibni Najim, hlm. 124 diceritakan bahwa dulu ketika Umar r.a.
diangkat sebagai khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, beliau memperluas
masjid dengan membeli rumah dan dirobohkannya.
Kemudian
beliau menambahkan perluasannya dengan dengan merobohkan (bangunan) penduduk
yang beraa di sekitar masjid yang enggan untuk menjualnya. Umar r.a. kemudian
memberikan harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Hal ini juga terjadi
di masa kekhalifahan shahabat Utsman bin Affan r.a.Dari peristiwa tersebut,
Ibnu Subkiy dalam kitabnya Al Asybah wan Nadhair li Ibni Subkiy, hlm. 116,
menjelaskan bahwa:
ولعلّ مراده
بنقل الاتّفاق أن عمر اشترى الدّورمن أصحا بها في وسع المسجد وكذلك عثمان وكان
الصّحابة في زما نها متوافرين ولم ينقل إنكار ذلك. (الإشباه والنّظائرلإ بن
السّبكى 1/ 116, تحت جدول لمحقّقة )
Barangkali yang dimaksud sesuai dengan pemindahan kesepakatan adalah bahwa Umar membeli rumah dari pemiliknya untuk memperluas masjid. Demikian halnya yang dilakukan oleh Utsman. Para shahabat pada masa itu masih melimpah (di Madinah), namun tidak memberi informasi adanya pengingkaran mereka.
Kemudian
dalam buku Ahkamul Fuqaha yang mengutip dari kitab Mughnil Muhtaj juz II, hlm.
7, dijelaskan bahwa, “adapun pemaksaan dengan (alasan) yang benar, adalah sah. Melaksanakan
kerelaan syara’ (kebenaran) itu kedudukannya sama dengan krelaan (pemilik)nya,”
(Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2004: 553). Pendapat ini
diperkuat dengan pendapat atau ketetapan yang terdapat dalam kitab Hasiyah Al
Dasuqiy ‘alasy Syarhil Kabir juz III, hlm. 6 yang berbunyi:
اي وامّا لو
أجبر على البيع جبرا حلالا كان البيع لازما كجره على بيع الدّار لتوسّع المسجد
اوالطّريق او المقبرة. (حاثية الدّسوق على الشّر ح الكبير: 3/6)
Seandainya seseorang dipaksa untuk menjual (demi tujuan) yang baik dan halal, maka penjualannya sah, seperti dipaksa untuk menjual rumah untuk memperluas masjid, jalan umum atau kuburan.Sementara itu, sebagai bentuk kehati-hatian, Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin pada juz awal menjelaskan:
القسم الاوّل
المعاصى وهي لا تتغيّر عن موضعها بالنّيّة … إلى ان قال: وبيني مدرسة او مسجدا او
رباطا بمال حرام قصد الخير فهذ كلّه جهل والنّيّة لا تؤثّر في إخراجه عن كونه ظلما
وعدوانا و معصيّة (إحيا علوم الدّين الجزء الاوّل)
Bagian pertama adalah maksiat. Dan maksiat itu tidak akan berubah dari posisinya (sebagai hal yang diharamkan) dengan niat kebajikan.
Jika seseorang membangun sekolah,
masjid dan pondokan dengan uang haram, ia bermaksud (dengan pembangunan
tersebut) untuk melakukan kebajikan, maka semuanya itu merupakan kebodohan dan
niatnya itu tidak akan berpengaruh untuk mengeluarkannya dari posisinya sebagai
tindakan yang dhalim, aniaya dan maksiat.
Pendapat Imam Ghazali ini diperkuat
oleh adanya pendapat yang dikutip dari kitab kitab I’anatuth Thalibin juz III,
hlm.9 dalam buku ahkamul Fuqaha, yang artinya, ”seandainya seseorang mengambil
sesuatu yang diduga halal dari orang lain dengan cara yang diperbolehklan, maka
secara batin merupakan sesuatu yang haram. Jika secara lahir tidak nampak baik,
seperti yang lacur dari hasil pengkhianatan, maka kelak di akhirat akan
dituntut kembali. Sedangkan di dunia, ia tidak akan dituntut sama sekali karena
diambil dengan cara yang diperbolehkan. Wallohu a'lam.
https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/912539132102229/ oleh Ust. Ghufron
Posting Komentar