Seorang teman pernah mengajukan sebuah
pertanyaan via SMS kepada saya tentang hari sial dalam pernikahan. Dia bertanya
tentang hal itu karena ada saudaranya yang akan menikah, lalu bertanya kepada
‘orang pintar’ yang menguasai ilmu penanggalan jawa atau penanggalan weton.
Kata orang pintar tadi, jangan menikah
pada tanggal itu karena tidak cocok dengan tanggal kelahiran mempelai, itu hari
sial, hari buruk yang kalau tetap dilangsungkan akan membawa malapateka.
Persoalan di atas sering muncul. Ketika
anda akan membuka toko anda harus menunggu ‘hari baik’. Ketika anda akan pindah
rumah, anda mesti mencari ‘hari baik’. Persepsi hari baik dan hari buruk
membentuk keyakinan bahwa di antara hari, tanggal, dan bulan, di dalamnya ada
kesialan, kecelakaan, dan kebinasaan.
Pada dasarnya, semua tanggal dan hari
baik selama kita isi dengan kebaikan. Akan tetapi, ada hari-hari yang dipandang
baik dengan amalan-amalan yang baik pula. Misalnya, hari Jumat dengan shalat
jumatnya. Bulan Ramadhan dengan puasanya dan pahala yang berlipat ganda.
Tanggal 9 Dzulhijjah dengan puasa
Arafah yang berisi pengampunan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang
akan datang. Ada lagi puasa pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan puasa
Asyura dengan penghapusan dosa setahun penuh, dan masih banyak lagi.
Itulah hari-hari baik dalam Islam.
kebaikannya ada pada nilai khusus yang disebut pahala dengan amalan-amalan yang
baik pula. Jika hari-hari baik itu tidak digunakan untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, nilai kebaikan itu menjadi tidak ada.
Misalnya, melangsungkan pernikahan pada
tanggal 10 Muharram maka kegiatan itu tidak bernilai ibadah seperti orang yang
beribadah puasa Muharram. Mungkin hanya melahirkan optimisme untuk mendapatkan
kebaikan dari Allah. Dan ini pun sah-sah saja.
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu
baik, masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaan dan peristiwa
sendiri-sendiri. Jika bulan dan hari tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan
yang lebih, bukan berarti bulan dan hari yang lain merupakan bulan atau hari
yang buruk. Jika ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah
bulan atau hari, itu bukan berarti bulan dan hari atau tanggal tersebut
merupakan bulan, hari, dan tanggal musibah atau yang penuh kesialan. Namun kita
harus pandai-pandai mencari hikmah di balik peristiwa itu, dan amaliah apa yang
harus dilakukan sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Fatawa
Al-Hadistiyyah pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang
oleh sebagian orang dipercaya sehingga mereka berpaling dari hari itu atau
menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang
mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling
darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya
terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum
Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan
tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat, lanjut
beliau, yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung
kesialan, maka riwayat tersebut adalah batil, tidak benar, mengandung
kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah
riwayat seperti ini. Adanya penentuan tanggal weton yang
dihubungkan dengan nasib dan masa depan seseorang adalah klenik yang biasa
dilakukan oleh para dukun.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa
Nabi SAW bersabda yang artinya : “Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan dia
percaya dengan apa yang dikatakannya maka dia telah kufur dengan apa yang telah
diturunkan kepada Muhammad SAW.”
Oleh karena itu, kita tidak perlu risau
dan gelisah dengan penanggalan weton yang acap memberikan tekanan pada diri
seseorang bahkan mempercayainya adanya hari sial jika tetap dilakukan sesuatu
di dalamnya. Jodoh, hidup, mati, rezeki, dan sebagainya adalah wewenang
kekuasaan Allah. Tidak ada seorangpun yang dapat menetukan siapa jodohnya, di
mana ia akan mati dan hidup, berapa rezekinya, atau mampu menentukan hari-hari
tertentu sebagai hari sial.
وَعِندَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ
يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا
تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ
إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ
حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ
الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ
وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ
فِي
كِتَابٍ مُّبِينٍ
Allah SWT berfirman: “Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidaklah
jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh ).”
(Qs. Al-An`am : 59)
Tetaplah yakin seyakin-yakinnya bahwa
apa pun yang terjadi adalah atas kehendak Allah semata. Jangan terpengaruh
ramalan dan othak-athik-gathuknya 'orang sepuh' atau 'orang pinter' mana pun
baik Jawa, Sunda Batak, Belanda, Amerika, dan seterusnya.*
Habib Ali Akbar bin Agil
Posting Komentar