Nikah adalah peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi
halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan
beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat.
Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan
masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik. Oleh karena itu, Nabi SAW
mengajarkan umatnya untuk menikah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنِ الْقَاسِمِ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ
فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ
وِجَاءٌ
Karena sifatnya yang menjangkau
kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan memiliki makna sangat strategis
dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini, pemerintah menjadi
berkepentingan untuk mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat
yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-Undang no. 1 tahun 1974 adalah
bentuk kongkret pengaturan pemerintah soal pernikahan.
Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang I
ini tertulis: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundangan-undangan yang berlaku”. Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam
Bab 11 Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975 yang intinya: sebuah
pernikahan baru diangap memiliki kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika
dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawa pencatat
pernikahan yang ditentukan undang-undang. Aturan inilah yang akhirnya
menimbulkan istilah yang disebut: nikah sirri.
Nikah sirri menurut hukum Islam –
berdasarkan penelusuran dalil secara tekstual - adalah sah apabila memenuhi
rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat
Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya
pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah sirri ini tidak
sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan
perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka
pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu
al-Zawaj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi
perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahan sehingga langsung dapat sisimpulkan, bahwa pernikahan ini
bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri
–seperti yang didefinisikan dalam fiqh- yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya
diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali
dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak
seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang
lain
Dalam konteks masyarakat Indonesia,
sebenarnya nikah sirri mempunyi beberapa devinisi, diantaranya adalah:
1. Pernikahan yang dipandang sah dari
segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan
negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa
kehadiran wali dari pihak perempuan (catatan: laki-laki memerlukan wali pada
saat pernikahan).
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik
oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak
disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah sirri yang dimaksud dalam
pembahasan ini bukanlah seperti yang dinyatakan Ibn Taimiyah atau Wahbah
Zuhaili, akan tetapi merupakan praktik pernikahan yang banyak dilakukan oleh
masyarakat Muslim Indonesia yaitu pernikahan yang namun tidak didaftarkan ke
KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan).
Nikah Sirri
dalam satu sisi mengandung beberapa kemudharatan, tetapi dalam sisi lain banyak
dipraktikkan oleh kalangan Muslim Indonesia dengan segala variannya. Pada titik
inilah maka nikah sirri perlu dikaji secara komprehensif, tidak semata-mata
dengan pendekatan tekstual-normatif tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek
kultural-sosiologisnya.
Ust. Hakam Ahmed Elchudri (PISS-KTB)
+ comments + 1 comments
beri ibarot
Posting Komentar