Suntik dan infus sama-sama
memasukkan cairan ke dalam tubuh dengan alat bantu jarum. Bedanya, suntik
berisi cairan obat-obatan, sedangkan infus biasanya berupa nutrisi yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh. Pada galibnya, orang sakit tidak memiliki nafsu makan,
atau karena pertimbangan tertentu tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan menurut
cara normal. Di sini, infus menjadi sebuah solusi.
Karena perbedaan zat yang dikandung,
suntik dan infus memiliki efek yang tidak sama. Setelah diinfus, tubuh akan
terasa relative segar dan tidak lapar, meskipun juga tidak kenyang. Sementara
suntik, murni obat untuk menyembuhkan penyakit, bukan menggantikan makanan dan
minuman.
Suntik dan infus dengan fungsi yang
berbeda, pada hakikatnya saling melengkapi. Penyakit susah disembuhkan jika
tubuh kekurangan vitamin dan zat-zat lain yang sangat dibutuhkan. Sementara
terpenuhinya kebutuhan gizi, tidak secara otomatis melenyapkan penyakit, tanpa
ditunjang obat-obatan.
Definisi puasa yang paling praktis adalah meninggalkan makan/minum dan berhubungan seksual. Pengertian makan dan minum dalam konteks berpuasa, ternyata lebih luas dari sekedar memasukkan makanan dan minuman lewat mulut. Ia mencakup masuknya benda ke dalam rongga tubuh (al-jawf) lewat organ yang berlubang terbuka (manfadz maftuh), yaitu mulut, telinga, dubur, kemaluan, dan hidung.
Definisi puasa yang paling praktis adalah meninggalkan makan/minum dan berhubungan seksual. Pengertian makan dan minum dalam konteks berpuasa, ternyata lebih luas dari sekedar memasukkan makanan dan minuman lewat mulut. Ia mencakup masuknya benda ke dalam rongga tubuh (al-jawf) lewat organ yang berlubang terbuka (manfadz maftuh), yaitu mulut, telinga, dubur, kemaluan, dan hidung.
Melihat ketentuan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suntik tidak membatalkan puasa. Sebab proses masuknya obat tidak melalui organ berlubang terbuka, tetapi jarum khusus yang ditancapkan ke dalam tubuh. Lagi pula, suntik tidak menghilangkan lapar dan dahaga sama sekali.
Adapun infus, menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatawi Mu’ashirah misalnya, hal tersebut merupakan penemuan baru, sehingga tidak diketemukan keterangan hukumnya dari hadits, shahabat, tabiin, dan para ulama terdahulu. Oleh karena itu, ulama kontemporer berbeda pendapat, antara membatalkan dan tidak. Dr. Yususf Qardhawi, meskipun cenderung kepada pendapat yang tidak membatalkan, menyarankan agar penggunaan infus dihindari pada saat berpuasa. Alasannya, meskipun infus tidak mengenyangkan, tetapi cukup menjadikan tubuh terasa relatif segar.
Intinya, infus dapat dilihat dari dua sisi, proses masuk dan efek yang ditimbulkan.
Ditinjau dari sisi pertama, infus tidak membatalkan puasa, seperti suntik, sebab masuknya cairan tidak melalui ogan tubuh yang berlubang terbuka.
Tetapi, melihat fakta bahwa ia berpotensi menyegarkan badan dan menghilangkan lapar serta dahaga, kita patut bertanya: apakah menyatakan infus tidak membatalkan puasa tidak berlawanan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni merasakan lapar dan dahaga sebagai wahana latihan mengendalikan nafsu dan menumbuhkan empati kepada kaum mustadhafin.
Untuk menghadapi masalah yang disangsikan hukumnya, cara paling aman adalah meninggalkannya, sebagai diajarkan Rasulullah kaitannya dengan perkara syubhat (tidak jelas halal haramnya). Ini artinya, pendapat infus membatalkan puasa lebih mencerminkan sikap berhati-hati (al-ahwath) dalam beragama. Toh orang sakit mendapat dispensasi terbuka pada bulan puasa.
Sumber: Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh, oleh Ampel Suci
Posting Komentar