Allah ta’ala berfirman. “Dia (Allah) tidak menyerupai
sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak
ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11).
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama
Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian;
yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda
yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama
menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi
bagian-bagian (jisim).
Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan,
seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan
seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam,
berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak
menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda
Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari
sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa
Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan
arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia
memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang
demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya
dalam dimensi tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah ada
pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R.
al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada
angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat
dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia
tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap
ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru
(makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata,
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat,
Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan
sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah
aqidahnya mengatakan, “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum
dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan
dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya?”, “Di mana Dia ?”
atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah
tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal
akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan
arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa
ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan, “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat
bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa
sallam, “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan
ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak
dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika
tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia
tidak bertempat”.
Ust. Nashrul Mukmin
Posting Komentar