Politik Belanda menerapkan hukuman bagi siapa saja yang
memakai kopyah putih sedangkan dia belum haji maka didenda sekian gulden (kalau
tidak salah dengar 25 gulden). Begitupun sebaliknya. Itu politik Belanda atas
gerakan Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo, serta membludaknya jamaah haji asal
Indonesia pada saat itu. Bahkan Belanda sampai meminta konsul Jeddah untuk
membatasi kuota jamaah haji Indonesia.
Menghadapi politik semacam itu, ada kiyai top yang luar biasa
menjawab tantangan itu. Namanya Sayyid Syaikh Muhammad Affandi bin Maulana
Muhammad Malik bin Ilyas Kedungparuk Purwokerto. Semua kapal disewa dan
diborongnya sekian milyar untuk ukuran sekarang. Setelah diborong Mbah Affandi
membuka kuota haji seluas-luasnya bagi siapa saja dan gratis asal membawa bekal
sendiri-sendiri. Saat inilah dibutuhkan kiai-kiai yang demikian.
Ada seorang habib tampannya luar biasa, kaya raya tiada
duanya, yakni Habib Umar bin Yahya. Saking tampannya setiap kali berangkat
Jum'atan banyak warga dan wanita-wanita yang berjejer menyambutnya dengan
menaburi bunga-bunga. Banyak madrasah dan pesantren disumbangnya tidak
terhitung. Beliau memiliki empat istri, semua berasal dari keturunan orang
hebat, diantaranya putri sultan Cirebon, putri sultan Banten (yang kemudian
menurunkan Habib Hasyim bin Yahya), putri Sanghai (dari dinasti terakhir
China).
Kyai Abbas Jamil Buntet dan Kiai Sholeh Gedongan adalah
diantara anak-didik Habib Umar bin Yahya. Juga para muridnya adalah para ulama
dari Jawa Timur dan luar Jawa. Hampir tidak ada santrinya yang mentah. Itulah
keadaan ulama pada waktu itu, bukan saja ngayomi wilayah maqamnya tapi juga
wilayah duniawinya. Apa dikira yang seperti itu bukan orang tasawuf? Sangat
tasawuf!
Santri Habib Umar bin Yahya rata-rata pakai imamah (serban).
Itu adalah syiar. Tapi terkadang mereka merasa takut jika memakai serban atau
kopyah putih. Selesai ngaji imamah atau kopyah putihnya diganti dengan kopyah
hitam. Demi menjaga sunnah Nabi SAW. Begitulah kenapa Habib Luthfi bin Yahya
terkadang saat ngaji atau hendak ceramah sering melepas kopyahnya. Karena
sedang menjaga kesunnahan memakai kopyah putih dari kemakruhan merokok.
Sultan Agung di Keraton Jogja, supaya orang menjaga
adat-istiadat budaya Jawa, meskipun ada sisi negatifnya, setiap yang berkunjung
wajib bagi laki-laki memakai baju bebek (khas Jawa) dan kemben untuk wanita.
Ini salah satu syiar untuk menjaga budaya Jawa, lalu bagaimana lagi jika
menjaga syiar sunnah Nabi SAW.
Sebenarnya serban itu bukan pakaian ulama, hanya saja ulama
memakainya karena sunnah Nabi SAW. Tidak ada identitas pakaian ulama. Identitas
ummat Islam adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Orang yang belum mengetahui adab
dan sunnah Nabi SAW adalah diantaranya orang yang berserban atau selendang
hijau sambil membawa kitab tapi tangannya sambil merokok.
Ngaji
Ramadhan Bersama Habib Luthfi Bin Yahya, dikutip oleh Ust. Syaroni As-Samfuriy
Posting Komentar