Jamaah haji melaksanakan Wukuf di Padang Arafah.
Ibadah Haji yang mencerahkan umat manusia. Jutaan manusia memenuhi padang
gersang dan tandus yang begitu luas untuk menyaksikan keluasan cinta, rahmat,
ilmu dan berkah Allah SWT.
Wukuf di Padang Arafah mengandung beberapa pesan hikmah.
Pertama, Wukuf dalam bahasa Arab berarti “berhenti.” Maksudnya, sejak kita melakukan wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah ini berarti kita berjanji kepada Allah SWT untuk berhenti dari perbuatan lalai dan dosa, berhenti menzalimi diri sendiri, berhenti mengerjakan kekufuran dan kesyirikan diri sendiri yang begitu halus, berhenti melakukan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, serta membuang sifat-sifat kemanusiaan yang rendah.
Kedua, sebagai manusia kita dituntut untuk berfikir, merenung dan memahami tentang “arafah” (pengetahuan dan ilmu), baik ilmu lahir ataupun ilmu batin yang semuanya bersumber dari Allah SWT. Sebab, jika manusia tidak memahami makna “arafah,” maka ia akan selalu berada di padang kegelapan, kejahilan dan kerendahan.
Setelah melakukan wukuf di Padang Arafah, setelah matahari terbenam, maka seluruh jama’ah haji harus menuju ke Muzdalifah untuk bermalam. Muzdalifah adalah gurun pasir yang begitu luas, hal ini untuk menyadari tentang kecil dan hinanya diri manusia. Manusia membutuhkan Allah sebagai sandaran hidup dan mati, Allah adalah tempat bergantung satu-satunya. Untuk itu kita dianjurkan untuk memperbanyak berdzikir dan berdoa di tempat suci ini. Selain itu, para jama’ah haji juga harus mengumpulkan kerikil (batu-batu kecil) yang akan mereka gunakan untuk melempar jumroh.
Kemudian, para jamaah akan menuju ke Mina dan bermalam sana dan melempar jumroh tentunya. Terdapat tiga jumroh yaitu ula, wustho dan aqabah. Makna yang tersirat dalam melempar jumroh ini adalah manusia haruslah membuang jauh-jauh segala keburukan yang ada pada dirinya, membuang sifat setan dan iblis dalam diri kita sendiri. Segala keburukan yang ada dibuang ke dasar jumroh sehingga para jama’ah haji diharapkan mampu menjadi seseorang yang bersih kalbunya.
Lalu, para jama’ah haji berbondong-bondong menuju Mekkah untuk melaksanakan thawaf dan sa’i. Thawaf sendiri merupakan kegiatan memutari ka’bah sebanyak tujuh kali. Thawaf memberikan arti penting dalam kehidupan kita. Makna yang tersimpan di dalam thawaf adalah kehidupan ini berputar dari tiada kemudian kembali ke asalnya yaitu tiada. Berawal dan diakhiri di hajarul aswad (batu hitam) menggambarkan bahwa penciptaan manusia diambil dari segumpal tanah dan kembali ke tanah. Setelah melakukan thawaf kita melakukan sa’i.
Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah. Sa’i melambangkan perjuangan seorang ibu yaitu Siti Hajar yang mencari air untuk anaknya, Ismail. Sa’i berarti sebuah pencaharian dan air adalah lambang kehidupan materil di atas dunia. Sa’i mencerminkan pesan carilah materi sebanyak mungkin raihlah prestasi kehidupan dunia setinggi mungkin, namun jangan pernah melupakan kehidupan akhirat. Sa’i juga memberikan pesan kepada kita untuk menghargai perempuan, ibu kehidupan manusia.
Sa’i dimulai dari Shafa kemudian diakhiri di Marwa. Shafa berarti kemurnian (sesuatu yang murni dari hati). Shafa mengajarkan kepada kita untuk mengasihi orang lain seperti engkau mengasihi saudara kita. Shafa adalah hati yang bersih dan tulus untuk sampai ke Marwa, yaitu manusia ideal, insan kamil yang memiliki sifat menghargai, bermurah hati, dan suka memaafkan orang lain, menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama, menjadi khalifah di muka bumi ini, serta rahmat bagi alam semesta. Sa’i membentuk jamaah haji yang memiliki sifat-sifat agung tadi. Sehingga mereka menjadi orang yang ‘Marwa.’
Ibadah haji dimulai dari miqat (tempat mengambil niat haji), jamaah diwajibkan untuk melepaskan pakaian dan mengganti dengan pakaian ihram. Pakaian yang selama ini kita gunakan melambangkan pola, preferensi, status dan perbedan-perbedaan tertentu, maka ia harus seluruhnya ditanggalkan. Pakaian ihram merupakan dua helai kain putih bersih. Kain ihram yang dikenakan pada saat ibadah haji bermakna kesetaraan dan juga kesederhanaan. Artinya, kita semua adalah makhluk yang sama di hadapan Allah. Tidak ada yang membedakannya, kecuali tingkat ketakwaan yang ada di dalam hati. Selain itu pakaian ihram juga mencerminkan kesederhanaan dan tidak riya.
Lalu, perjalanan haji ditutup dengan mencukur beberapa helai rambut kepala sebagai tanda berakhirnya rangkaian ibadah haji. Ini adalah simbol dari pembersihan dari anasir-anasir pikiran negatif, rusak dan menyesatkan yang biasa menyelimuti akal dan pikiran manusia.
Dengan nilai-nilai suci yang terkandung dalam ibadah haji ini diharapkan agar jamaah haji mampu menerapkan makna dan pesan yang tercermin dari semua gerakan dan tahapan ibadah haji. Mari menghayati makna dan nilai-nilai ajaran Ilahi melalui ibadah haji. Semoga Allah menerima amal ibadahnya, dan mampu menjadi haji yang mabrur.
Ust. Halim Ambiya
Posting Komentar