“Habib... Maafkanlah saya yang telah memfitnah Habib dan
ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun
menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan Habib."
Habib Umar terkekeh, “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan, “Saya serius, Habib, Saya benar-benar ingin menebus
kesalahan saya.”
Habib Umar terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku
sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Habib Umar kepadaku, yang
jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku
juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yg bisa menebus
kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku.
Beberapa jenak kemudian, Habib Umar mengucapkan sesuatu yang
benar-benar di luar perkiraanku. “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?”
Aku benar-benar heran Habib Umar justru menanyakan sesuatu
yang tidak relevan untuk permintaanku tadi. “Maaf, Habib?” Aku berusaha memperjelas maksud Habib Umar.
Habib Umar tertawa, seperti Habib Umar yang biasanya.
Di ujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya Habib Umar benar-benar serius dengan
permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Habib. Apa yang
harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Habib Umar tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu.
Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang
aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui.”
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya.
Barangkali maksud Habib Umar adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku.
Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu
akan gugur diterbangkan waktu. “Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Habib Umar Ada
senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
Keesokan harinya, aku menemui Habib Umar dengan sebuah
kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera
menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau. “Ini, Habib bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per
satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke
pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Habib. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang
Habib yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Habib.
Maafkan saya…”
Habib Umar mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada
kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya, “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu.
Barangkali kamu hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau
harus belajar sesuatu…,” katanya. Aku hanya terdiam mendengar perkataan Habib Umar yang
lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah…” kata Habib Umar.
Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium
tangannya, tetapi Habib Umar melanjutkan kalimatnya, "Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh
jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku tadi…”
Aku terkejut mendengarkan permintaan Habib Umar kali ini,
apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya, “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali
bulu-bulu kemoceng yg tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan
kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Habib Umar. “Kamu akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Habib
Umar.
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan
bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik, perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja
telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota
yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku
ketahui.
Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke
setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja! Aku terus berjalan...
Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan
pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang
berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang ku cabuti dan
ku jatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan
dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai.
Hari berikutnya aku menemui Habib Umar dengan wajah yang
murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Habib Umar, "Ini, Habib, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku
membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Habib Umar.
Habib Umar terkekeh, "Kini kamu telah belajar sesuatu,” katanya.
Aku mengernyitkan dahiku, “Apa yang telah aku pelajari, Habib?” Aku benar-benar tak
mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Habib Umar. Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai
berkeringat.
“Bulu-bulu yang kamu cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang
perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Meskipun kamu benar-benar
menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah
menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat
yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa
kamu hitung!”
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Habib Umar.
Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku.
Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut
lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat
kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya,
karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan
kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kamu tak
bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan
terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu bungkus lagi dalam sebuah
kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang
mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya."
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus
beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa
yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun
saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus
mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu
terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kamu tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah
itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim…
Astagfirulloh hal-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh.
Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu,
Habib. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis
menyesali apa yang telah aku perbuat.
Habib Umar tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.
“Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya,
“Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu,
mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya,
adalah zat yang Maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha
tawwaabur-rahiim...”
Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan
batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk
semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan
fitnah-fitnah itu!
“Kini kamu telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain,
setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata.
Demikianlah sahabat dan saudaraku. Itulah kenapa, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan. Bayangkan berapa juta wall di medsos yang kita penuhi kalau
1 kali saja posting fitnah dan itu akan menetap abadi sepanjang masa apalagi
kalau di share. Maka setiap kita posting mari di telaah dulu fitnah atau bukan?
FP Idolaku Nabi Muhammad SAW
Posting Komentar