Kesombongan
(kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi,
kesombongan adalah menentang agama Allah dan merendahkan hamba-hamba Allah.
Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah tatkala beliau ditanya oleh
‘Abdullah bin ‘Umar,
“Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah-hullah yang
dikenakannya?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki
dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?”
“Tidak.”
“Apakah bila
seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?”
“Tidak.”
“Apakah
bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?”
“Tidak.”
“Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?”
Kemudian beliau menjawab:
سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Meremehkan kebenaran dan merendahkan
manusia.” (HR. Ahmad)
Tak sedikit
pun Rasulullah membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan
beliau senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar menyampaikan
bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا
حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar
kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang
lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR.
Muslim no. 2865)
Berlawanan
dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai
kemuliaan dari sisi Allah SWT, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang
mulia, Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ
اللهُ
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’
karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tawadhu’
karena Allah SWT ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah,
sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk
menunaikan hukum- hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah
k karena Allah SWT, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap
sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah SWT. Kedua
makna ini benar.
Apabila
seseorang merendahkan diri karena Allah SWT, maka Allah SWT akan mengangkatnya
di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam
kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang
tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai
oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tak hanya
sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah banyak
melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau adalah seorang manusia yang paling
mulia di hadapan Allah SWT. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang
berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik tatkala
orang-orang berkata kepada Rasulullah , “Wahai orang yang terbaik di antara
kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak
junjungan kami!” Beliau pun berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ
وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي
فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan
kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak
ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala
bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An-
Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah).
Penulis Berasal dari Ponpes Langitan
Posting Komentar