سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surat Al-’Isrā’ :
1)
Surat Bani Israil ayat 1 adalah dalil Al Quran yang
memberi petunjuk kepada alam semesta bahwa Allah SWT Dzat yang Maha pencipta
lagi Maha Pecinta, telah memberikan anugerah mu`jizat keagungan Isra` dan
Mi`raj jepada hamba-Nya yang tercinta Nabi besar Muhammad SAW.
Surat Bani Israil diawali dengan lafadz “Subhana”, Nabi besar Muhammad SAW
ketika ditanya tentang tafsir “Subhana”, beliau SAW mengartikan sebagai
pensucian terhadap Allah SWT Tuhan seru sekalian alam dari segala pensifatan
yang buruk, tidak layak dan mustahil bagi Allah SWT, terutama tentang dakwaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani serta kaum musyrikin yang mempercayai bahwa
Allah punya anak maupun isteri.
Dakwaan kotor dan nista
ini dibantah dengan tegas dan keras oleh Allah SWT sendiri dengan Firman-Nya yang agung dan mulia dengan suatu lafadz yang suci
yaitu “Subhanallahi”. Penyabutan lafadz “Subhanallahi” adalah dzikir
dikhususkan bagi Allah SWT dan tidak diperbolehkan untuk yang selain Allah.
Firman Allah SWT Q.S Al Ikhlas 1-4 :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
اللَّهُ الصَّمَدُ
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَ
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Imam Sayyid Muhammad Nawawi Al Bantani dalam tafsir Munir menyebutkan bahwa
makna “Subhana” pada ayat satu Bani Israil adalah penyucian Dzat Allah SWT dari
efek kemusyrikan yang ditimbulkan akibat kejadian Isra` wal Mi`raj Nabi besar
Muhammad SAW. Seperti yang terjadi dikalangan kaum Nasrani terhadap kejadian
naiknya Nabi Isa ke langit, sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Ahmad bin
Muhammad Assawi dalam tafsir “Haliyatusshawy”, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
hamba Allah SWT diberi kesempurnaan ubudiyah sesuai tuntutan peribadatan yang
diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah SWT sehingga menjadikan beliau SAW
menjadi manusia paling dekat dan tercinta bagi Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW keberadaannya bagi alam semesta adalah rahmat bagi umatnya
dan yang lain, maka dengan wahyu-Nya yang diawali dengan lafadz “Subhanallahi”
memberi petunjuk bahwa Allah SWT berkehendak agar umat nabi Muhammad SAW
sekalipun mendengar kejadian besar seperti Isra` wal Mi`raj atau lebih besar
dari peristiwa itu tetap dalam kesadaran keimanannya, bahkan lebih yakin
terhadap kebenaran Nabi besar Muhammad SAW dan semua ajarannya seperti yang
dilakukan oleh sahabat Abu Bakar Assiddiq. Tidak
seperti yang terjadi dikalangan kaum Nasrani saat menjadi binasa keimanannya
setelah mendengar naiknya nabi Isa AS ke langit.
Syeikh Abdurrahman Assofuri didalam kitab “Nuzhatul Majalis” menjelaskan
bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya oleh Allah SWT penyebab kemuliaan yang
diperolehnya, beliau menjawab bahwa karena Allah SWT berkenan menisbatkan
ubudiyahnya kepada Allah SWT. Maka manusia yang pantas menerima undangan
Ilahiyah untuk hadir kehadirat-Nya sehingga terjadi penghadapan agung antara
Dzat yang Maha Pencinta dan hamba yang tercinta, untuk menyaksikan Dzat Allah
SWT secara langsung lahir dan batin, ruh dan jasad nabi Muhammad SAW. Al Imam
Al Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsy menyebutkan dalam kitab “Maulid
Simtud Durar” dengan istilah Tasyhadu Dzaatu Lidzaat.
Isra Wal Mi`raj merupakan bukti akan ketinggian martabat Rasulullah SAW,
bersyukurlah dan berbahagialah kaum muslimin yang menjadi umat kebanggaan Nabi
besar Muhammad SAW.
AhlulKisa
Posting Komentar