Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Merdeka Kata Tanpa Makna (1)

Merdeka Kata Tanpa Makna (1)

”MERDEKA!” Hingar-bingar di seluruh pelosok negeri khatulistiwa menteriakkan kata ini, tepat pada tanggal 17 agustus 1945. Hari dimana proklamator bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonnesia. Dan pada hari itulah seluruh bangsa di dunia menatap Indonesia. Pasalnya, meskipun proklamasi kemerdekaan telah dibacakan namun tidak serta merta kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia. Nyatanya, ketika itu hanya Mesir sajalah yang berani mengakui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara yang berkedaulatan dan mempunyai martabat yang setara dengan bangsa-bangsa lain.

Laksana sinar rembulan yang merata menyinari pelosok bumi, begitulah kiranya ibarat yang cocok untuk saya sandingkan ketika saya melihat sebuah kata “merdeka” yang selalu digaungkan setiap 17 agustus dengan perayaan yang sangat meriah diseluruh pelosok negeri ini, bahkan seluruh perwakilan Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia pun tidak kalah dalam meramaikan peringatan milad negeri kita. Dan seakan-akan mereka lupa bahwa masih banyak putra-putri ibu pertiwi yang masih belum menikmati arti kemerdekaan yang selama ini dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Kalau seperti ini, apakah esensi dari sebuah kemerdekaan bagi kita?

Tentunya pertanyaan ini seyogianya kita bahas kembali bersama seluruh elemen terkait. Pasalnya, sungguh tidak adil ketika sebagian rakyat Indonesia dapat merasakan”kemerdekaan,” sedangkan sebagian lagi hanya ikut tersenyum ”manis” ketika melihat semaraknya peringatan kemerdekaan yang digelar serempak di negeri ini, tanpa bisa merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebagai contoh kecil, kita bisa melihat ke petinggi-petinggi negeri ini yang merasa bangga dapat menyekolahkan putra-putrinya di sekolah-sekolah elit di berbagai belahan dunia, sedangkan rakyat jelata hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah biasa. Tidak sedikit dari mereka tidak bisa menyekolahkan putra-putrinya. Sungguh belum bisa dikatakan merdeka.

Apa artinya kemerdekaan kalau saja kebodohan masih setia ”bersahabat” dengan mereka? Apa artinya kemerdekaan kalau saja kekhawatiran selalu mengahantui mereka? Apakah mereka bisa memberikan putra-putrinya makan pada esok hari? Apakah mereka mampu membayar sekolah putra-putri mereka sampai tamat sekolah? Dan masih sejuta kekhawatiran lain yang selalu menghantui mereka. Dari sini kita bisa tarik kesimpulan bahwa mereka masih dalam keadaan terjajah. Karena keadaan yang mereka alami tidak berbeda dengan apa yang dialami para pendahulu ketika penajajahan masih berada di bumi pertiwi ini. Yaitu, sebuah keadaan yang selalu diliputi ketakutan dan kegelisahan.

Jadi, apakah kemerdekaan yang telah diraih dengan bergelimangnya ribuan bahkan jutaan nyawa ini percuma bagi mereka? Lalu, apakah ruh-ruh pahlawan di alam sana bisa tersenyum atas keadaan ini? Ataukah para pahlawan tersebut malah menyesal karena pengorbanan jiwa dan raga mereka sia-sia? Lalu, siapa yang salah kalau sudah seperti ini? Saya? Anda? Ataukah pemerintah? Atau mungkin juga, rakyat jelata?

Masalahnya bukan pada siapa yang salah. Tapi solusi solusinya apa agar bangsa ini merdeka? Karena jika kita tidak bisa mencari solusi dari semua ini, maka keutuhan NKRI pun jadi taruhan. Coba kita lihat Aceh. Kenapa rakyat Aceh ingin memisahkan diri dari Indonesia? Apakah di mata mereka, Indonesia ini penjajah? Jawabannya, mungkin, ”Ya.”

Aceh bagian tak terpisahkan dari NKRI, tapi nampaknya hal itu hanya terbatas dalam ukiran peta saja. Karena pada hakikatnya tidak demikian. Aceh yang ada selama ini hanya lah sebagai mesin uang bagi Indonesia. Semua kekayaan alam Aceh disedot, tapi input yang seharusnya mereka dapati dari apa yang telah disumbangkan jauh dari harapan. Dan hal ini tentu saja tidak berbeda dengan penjajahan. Dan masih banyak ”Aceh” lain yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, pemerintah harus tanggap dengan masalah yang satu ini. Agar keutuhan NKRI pun bisa terjaga.

Kemerdekaan yang telah kita raih berubah jadi dilema yang berkepanjangan karena, lagi-lagi, kemerdekaan itu hanyalah sebatas nama, bukan makna. Rakyat tidak (merasakan) merdeka karena selalu tertekan dengan aturan-aturan pemerintah, dan pemeintah pun tidak merdeka karena selalu dikendalikan oleh pihak asing. Jadi makna merdeka yang tercantum dalam Kamus Besar Indonesia ”Berarti bebas dari tekanan pihak asing,” hanya jadi kosa kata ”pelengkap” kamus. Dan tidak seorang pun yang merasakan makna tersebut dalam keseharian. Dan itulah  merdeka bagi rakyat Indonesia: kata, tanpa makna.



M. Isa Ghozi Rantau
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger