Rasulullah SAW memandang dengan penuh duka dan kesedihan, tatkala menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib, sang pahlawan sekaligus sebagai panglima perang Uhud, akibat tancapan tombak dan perbuatan mutilasi yang dilakukan oleh Wahsyi si budak milik Hindun di saat perang Uhud berkecamuk.
Penderitaan
itu pula yang mengantarkan Sayyidina Hamzah ra menjadi syahid hingga mendapat
predikat sebagai pemimpin syuhada yang mati di medan peperangan. Beliau adalah
pemimpin syuhada di dunia maupun di akhirat.
Di saat
Rasulullah SAW berada dalam suasana duka dan kesedihan itu, beliau SAW
bersumpah : \"Jikalau ada kesempatan bagiku, maka akan aku cincang tujuh
puluh orang dari mereka orang-orang kafir Quraisy\". Namun, pada akhirnya
Allah mengingatkan beliau SAW dengan menurunkan firman-Nya agar membatalkan
sumpahnya itu, sebagaimana yang telah diterangkan dalam kitab tafsir Ibnu
Katsir, yang artinya : \"Jika kalian akan membalas, maka balaslah senada
dengan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap kalian, tetapi jika kalian
bersabar maka hal itu lebih baik bagi orang-orng yang sabar\" (surat
An-nahl ayat 126).
Dengan
turunnya ayat ini, maka Rasulullah SAW lebih memilih bersabar dengan tidak
membalas perilaku kaum kafir Quraisy, sekalipun hati beliau dalam kedukaan yang
sangat mendalam, mengingat Sayyidina Hamzah, adalah satu-satunya pamanda beliau
SAW yang menyatakan masuk Islam secara terang-terangan, sekaligus ikut berjuang
dan berperang bersama Rasulullah SAW.
Demikianlah,
sejak peristiwa itu terjadi, maka setiap kali Rasulullah SAW berziarah ke makam
Sayyidina Hamzah ra, di lembah gunung Uhud, beliau SAW selalu mengucapkan salam
khusus : \"Assalamu \`alaikum bimaa shabartum fa ni\`ma \`uqbad
daar\" (Selamat atas dirimu dengan kesabaran yang engkau jalani,
sesungguhnya balasan di akhirat adalah kenikmatan yang terbaik).
Lihatlah,
Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umat Islam tentang bagaimana tata cara
berziarah khusus ke makam Sayyidina Hamzah sang pemimpin para syuhada, yaitu
dengan cara mengucapkan salam khusus yang disesuaikan dengan isi ayat Alquran,
karena turunnya ayat itu juga khusus untuk pamanda beliau SAW.
Bukankah
ajaran Rasulullah SAW tentang ziarah ke makam Sayyidina Hamzah ini, teramat
istimewa dalam pandangan syariat Islam? Tidakkah sangat naif jika para
muthawwi\` yang bertebaran di sekitar lembah Uhud, tiba-tiba mengkampanyekan
keyakinan mereka dengan mengatakan bahwa berziarah ke makam Sayyidina Hamzah
tidaklah disyariatkan di dalam Islam? Memang demikianlah ajaran yang selalu
mereka lontarkan di depan jamaah haji dan umrah asal Indonesia.
Permasalahan
yang timbul, jika keteladanan Rasulullah SAW dalam berziarah, baik ke gunung
Uhud maupun ke makam Sayyidina Hamzah, sudah tidak dianggap lagi sebagai amalan
sunnah yang disyariatkan di dalam Islam, maka apakah mereka akan mengatakan
bahwa syariat Islam yang benar adalah berteladan kepada pribadi pendiri aliran
Wahhaby? Atau mengikuti keyakinan para tokoh kontemporer beraliran Wahhaby
Saudi Arabiah lainnya?
Sebut saja
misalnya perilaku pelarangan kepada jamaah haji dan umrah, agar tidak berziarah
ke lembah Uhud, tidak berziarah ke makam Sayyidina Hamzah, tidak berziarah ke
pemakaman Baqi’, pemakaman Ma’la, tidak berziarah ke Masjid Quba, dan
pelarangan-pelarangan lainnya yang menjadi trade mark kaum Wahhaby. Kira-kira
yang semacam inikah ajaran syariat Islam yang sebenarnya?
Tentu,
umat Islam dapat menyimpulkan, serta mengambil sikap antara meneladani perilaku
Rasulullah SAW, yang beliau SAW sendiri melakukan ziarah ke lembah Uhud, atau
mengikuti ajaran Wahhaby yang justru melarang umat Islam berziarah ke
tempat-tempat peninggalan Islam bersejarah. Antara mengikuti ajaran Rasulullah
SAW berziarah ke makam para shalihin seperti Sayyidina Hamzah, yang mana beliau
SAW juga memberi contoh bagi umat, untuk mengucapkan salam khusus saat
berziarah ke makam Sayyidina Hamzah ra, atau meneladani tokoh-tokoh Wahhaby
yang melarang umat Islam berziarah ke makam Sayyidina Hamzah ra tersebut, dan
yang mengatakan bahwa ziarah ke makam para shalihin bukan termasuk amalan
sunnah yang disyariatkan Islam.
Untuk
selanjutnya, semoga Allah selalu memberi petunjuk kepada seluruh umat Islam
Indonesia, yang tetap teguh memegang madzhab Sunni Syafi’i, sehingga keutuhan
dan persatuannya sebagai penghuni mayoritas di negeri ini, akan tetap lestari
untuk selamanya. Allahumma amiin.
Ganjar Aja Setiawan - Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah
Posting Komentar