Kehadiran
manusia di bumi bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas kehendak Yang Maha
Pencipta. Manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Baik
ditinjau secara psikis maupun fisik manusia merupakan makhluk ciptaan Allah
yang memiliki kelebihan dari yang lain. Secara psikis manusia bukan saja mampu
mempergunakan perasaan berfikir secara instinktif, tetapi juga memiliki
kemampuan untuk mempergunakan akalnya berfikir secara rasional.
Secara fisik, manusia memiliki otak yang merupakan organ penting dan anatomi
tubuh yang memungkinkan melakukan aktivitas gerak dengan lebih leluasa dan
cekatan serta efektif. Keberadaan manusia di bumi tidak lain adalah untuk
mengemban tugas pengabdian sebagai hamba Allah.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS 51:56, Adz Dzaariyaat).
Tugas penghambaan ini dilaksanakan manusia dengan cara melakukan ibadah, baik
ibadah dalam arti khas (mahdloh) maupun dalam arti luas. Endang Saifuddin
Anshari, MA, memberikan makna ibadah dalam arti khas sebagai segala tata cara,
acara dan upacara pengabdian langsung manusia kepada Allah, yang segala
sesuatunya secara terperinci sudah digariskan oleh Allah dan RasulNya; seperti
Shalat, Zakat, Shaum, Haji dan lain sebagainya yang bertalian erat dengan
hal-hal termaksud. Sedangkan 'ibadah dalam arti luas (meliputi antara lain
'ibadah dalam arti khas) ialah pengabdian, yaitu segala perbuatan, perkataan
dan sikap yang bertandakan:
(1) Ikhlas sebagai titik tolak;
(2) Mardlatillah sebagai titik tuju; dan
(3) Amal Shalih sebagai garis amal, termasuk di dalamnya antara lain: mencari
nafkah, mencari ilmu, mendidik, bertani, bekerja-buruh, memimpin negara dan
masyarakat dan lain sebagainya.
Sebagai hamba Allah manusia harus tunduk dan patuh (islam) kepada Allah.
Ketunduk-patuhan tersebut dilakukan dengan mengambil Islam sebagai agama secara
kaffah. Manusia harus berani meninggalkan agama-agama atau paham-paham
(isme-isme) yang sesat. Pada dasarnya semua agama itu sesat kecuali Islam.
Islam-lah agama yang dibawa para utusan Tuhan Yang Maha Tahu, sejak dari Adam
sampai Rasulullah Muhamad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang
lainnya membawa risalah Islam, suatu syariat yang mengajak umat manusia
menegakkan iman tauhid dan tunduk patuh kepada-Nya. Di dalam menyembah Allah,
manusia harus berlaku ikhlas dan memurnikan ketaatan kepada-Nya semata.
Katakanlah: "Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS 6:162-163, Al An'aam).
Pemurniaan ketaatan kepada Allah adalah suatu yang diperlukan umat manusia
supaya tidak terjadi penyelewengan terhadap ajaran agama yang dibawa para
Rasul, seperti yang terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani. Di dalam mengemban
tugas hidup sebagai hamba Allah manusia melaksanakan fungsinya selaku Khalifah
Allah di bumi, melaksanakan segala yang diridloi-Nya di atas bumi untuk
mengkulturkan natur dan dalam waktu yang sama untuk meng-Islam-kan kultur.
Sebagai Khalifah Allah manusia berusaha untuk memakmurkan bumi, mengolah sumber
daya alam bagi kemajuan kebudayaan dan peradaban serta kebahagiaannya,
mempergunakan nikmat kekhalifahan ini untuk bersyukur dalam rangka mengabdi
kepada-Nya.
Manusia diciptakan Allah bukanlah dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan yang
esensial. Dr. Murthada Mutahhari mengungkapkan: "Dengan demikian tujuan
hidup menurut Al Quraan adalah Allah itu sendiri. Segala sesuatu hanya karena
Allah atau Tuhan Semesta Alam. Segalanya dikerjakan dalam rangka mempersiapkan
agar memperoleh ridlo Allah. Bukan semata-mata bertujuan untuk meraih
keuntungan secara bebas tanpa batas."
Allah mencintai hamba-Nya yang beriman, yang mau mengerti akan keberadaannya di
muka bumi nan fana ini. Manusia yang mau memahami keberadaan dirinya akan
berusaha menjaga diri dengan berlaku taqwa kepada penciptanya, tidak larut
dalam kenikmatan-kenikmatan duniawiah sehingga lupa kepada Tuhannya. Manusia
yang seperti ini memilih tujuan hidup yang lebih tinggi yaitu mencari ridlo
Allah (mardlatillah), dari pada sekedar mencari tujuan hidup sesaat yang tidak
memiliki dimensi akhirat. Tujuan hidupnya lebih tinggi dari sekedar mencari gengsi
dan popularitas.
Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridlaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS 2:207, Al
Baqarah).
Selanjutnya beliau menyatakan: "Banyak orang mengartikan tujuan hidup
manusia sekedar untuk mencapai kebahagiaan (happiness). Yakni hanya untuk
memperoleh suasana kehidupan yang menyenangkan, menikmati karunia Tuhan dengan
senang hati serta terhindar dari pelbagai penderitaan, kesengsaraan, ataupun
kesedihan karena faktor alamiah maupun yang berasal dari dirinya sendiri.
Barangkali ini yang disebut bahagia".
Namun kebahagiaan hidup bukanlah hanya kebahagiaan duniawiah semata, tetapi ada
kebahagiaan hidup yang lebih tinggi nilainya yaitu kebahagiaan ukhrawi dalam
keabadian yang penuh dengan suka cita. Bagi manusia yang taqwa, disamping dia
mencari kebahagiaan hidup di dunia dia juga merasa berkepentingan dan berusaha
untuk mencari kebahagiaan di akhirat yang hanya dapat dicapai dengan karena
mendapat ridla-Nya.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu. (QS 57:20, Al Hadiid).
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Syurga-Ku . (QS 89:27-30, Al Fajr).
Sebagai hamba Allah yang memikul tugas pengabdian, maka jama’ah Masjid/
musholla berusaha untuk beribadah kepada Allah secara ikhlas dengan hanya
mengharap keridloan-Nya semata. Bentuk-bentuk pengabdian dikarenakan sikap
riya, ujub, takabur dan sum’ah harus dihindari karena mengurangi bahkan
menghilangkan makna pengabdian itu sendiri. Dengan ber-fastabiqul khairat
mereka berkompetisisi secara win-win dan menghindari sifat benci, dengki maupun
iri karena tertinggal dari saudaranya; bahkan ketertinggalan itu memacu mereka
untuk meningkatkan ibadah. Sekali lagi, mereka hanya mengiginkan ridlo Allah.
Keikhlasan beribadah terekspresi dalam ungkapan kalimat lillaahita’ala. Ini
bukan berarti ibadah dilakukan secara asal-asalan. Bahkan dalam pengabdian
mu’amalah jama’ah Masjid/ musholla perlu berlaku militan, profesional, efektif
dan efisien. Sikap ikhlas tidak membelenggu mereka dalam kejumudan dan
ketidakberdayaan, tetapi menjadi pendorong untuk berkreasi dengan lebih baik.
Sumber: Portal Immasjid
Posting Komentar