Hari Jum’at adalah sayyidul ayyam.
Artinya Jum’at mempunyai keistemewaan dibandingkan hari lain. Jika nama-nama
hari yang lain menunjukkan urutan angka (ahad artinya hari pertama, itsnain
atau senin adalah hari kedua, tsulatsa atau selasa adalah hari ketiga, arbi’a
atau Rabu adalah hari keempat dan khamis atau kamis adalah hari kelima), maka
Jum’at adalah jumlah dari kesemuanya.
Menurut sebagian riwayat kata Jum’at diambil dari kata jama’a yang artinya
berkumpul. Yaitu hari perjumpaan atau hari bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa
di Jabal Rahmah. Kata Jum’at juga bisa diartikan sebagai waktu berkumpulnya
umat muslim untuk melaksanakan kebaikan –shalat Jum’at-.
Salah satu bukti keistimewaan hari Jum’at adalah disyariatkannya sholat Jum’at.
Yaitu shalat dhuhur berjamaah pada hari Jum’at. -Jum’atan-. Bahkan mandinya
hari Jum’at pun mengandung unsur ibadah, karena hukumnya sunnah.
Dalam Al-Hawi Kabir karya al-Mawardi, Imam Syafi’i menjelaskan sunnahnya mandi
pada hari Jum’at. Meskipun sholat Jum’at dilaksanakan pada waktu sholat dhuhur,
namun mandi Jum’at boleh dilakukan semenjak dini hari, setelah terbit fajar.
Salah satu hadits menerangkan bahwa siapa yang mandi pada hari Jum’at dan
mendengarkan khutbah Jum’at, maka Allah akan mengampuni dosa di antara dua
Jum’at.
Oleh karena itu, baiknya kita selalu menyertakan niat setiap mandi di pagi hari
Jum’at. Karena hal itu akan memberikan nilai ibadah pada mandi kita. Inilah
yang membedakan mandi di pagi hari Jum’at dengan mandi-mandi yang lain.
Shalat Jum’at -Jum’atan- bisa dianggap sebagai muktamar mingguan –mu’tamar
usbu’iy- yang mempunyai nilai kemasyarakatan sangat tinggi. Karena pada hari
Jum’at inilah umat muslim dalam satu daerah tertentu dipertemukan.
Mereka dapat saling berjumpa, bersilaturrahim, bertegur sapa, saling menjalin
keakraban. Dalam kehidupan desa Jum’atan dapat dijadikan sebagai wahana
anjangsana. Mereka yang mukim di daerah barat bisa bertemu dengan kelompok
timur dan sebagainya.
Begitu pula dalam lingkup perkotaan, Jum’atan ternyata mampu menjalin
kebersamaan antar karyawan. Mereka yang setiap harinya sibuk bekerja di lantai
enam, bisa bertemu sesama karyawan yang hari-harinya bekerja di lantai tiga dan
seterusnya.
Kebersamaan dan silaturrahim ini tentunya sulit terjadi jikalau Jum’atan boleh
dilakukan seorang diri seperti pendapat Ibnu Hazm, atau cukup dengan dua orang
saja seperti qaul-nya Imam Nakho’i, atau pendapat Imam Hanafi yang
memperbolehkan Jum’atan dengan tiga orang saja berikut Imamnya.
Oleh sebab itu menurut Imam Syafi’i Jum’atan bisa dianggap sah jika diikuti
oleh empat puluh orang lelaki. Dengan kata lain, penentuan empat puluh lelaki sebagai
syarat sah sholat Jum’at oleh Imam Syafi’i memiliki faedah yang luar bisa.
M. Syaifi’i
Posting Komentar