Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan orang yang meninggalkan shalat satu kali saja dengan sengaja, dia dihukumi kafir. Dasarnya adalah zahir teks hadits: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, dia telah kafir.”
Imam Syafi’i berkata
kepadanya: “Jika seseorang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dihukumi
kafir seperti madzhabmu (pendapatmu), bagaimana cara orang tersebut kembali
pada Islam?”
Imam Ahmad bin Hanbal
menjawab: “Melakukan shalat.”
Imam Syafi’i berkata
lagi: “Bagaimana mungkin shalat orang kafir dipandang sah?!”
Kemudian Imam Ahmad
bin Hanbal diam, tidak mengatakan apa-apa lagi. (Fariduddin Attar, Tadzkirah
al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i
(836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 272).
Perbedaan pendapat
adalah hal yang lumrah dalam dunia akademik. Jika tidak ada perbedaan pendapat,
khazanah keilmuan kita tidak akan sekaya ini. Kitab-kitab keagamaan akan
terlihat ramping. Tidak ada kitab yang berjilid-jilid dan kaya informasi. Dari
sudut pandang ini, perbedaan pendapat adalah rahmat, bentuk kasih sayang Tuhan
yang Maha Berpengetahuan kepada umat manusia. Tinggal bagaimana kita
melestarikannya.
Kisah di atas
mengajarkan kita pentingnya untuk mengetahui bagaimana proses hukum fiqih
terjadi. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim yang mengatakan, “al-ghuslu yaum
al-jum’ah wâjibun ‘ala kulli muhatalimin—mandi hari jumat wajib bagi setiap
muslim yang telah baligh.”
Zahirnya jelas
mengatakan kewajiban mandi Jumat, tapi mayoritas ulama menghukuminya sunnah,
meski ada juga yang menghukuminya wajib seperti Madzhab Dzahiri. Kenapa hal ini
bisa terjadi? Karena ulama tidak gegabah mengambil kesimpulan tanpa melakukan
telaah mendalam. Dalam kasus mandi Jumat, para ulama harus mempertimbangkan
zahir hadits lainnya.
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang
berwudlu di hari jumat maka cukup baginya dan baik. Barangsiapa yang mandi
jumat, maka mandi itu lebih utama.” (H.R. Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud).
Atas dasar hadits di
atas, mayoritas ulama mengatakan bahwa mandi Jumat hukumnya sunnah, bukan
wajib. Begitupun dengan diskusi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal tentang
kedudukan orang yang meninggalkan shalat.
Imam Syafi’i tentunya
tahu dasar argumentasi Imam Ahmad bin Hanbal. Tapi Ia pun tidak bisa
mengabaikan hadits tentang larangan mudahnya mengkafirkan orang (HR. Imam
Muslim): “man da’â rajulan bi al-kufr aw qâla ‘aduwwa Allah wa laisa kadzalik
illâ hâra ilaih—barang siapa yang mendakwa seseorang dengan kekufuran, atau
menyebutnya musuh Allah, sedangkan dia tidak seperti itu, hal tersebut akan
kembali pada yang mengucapkannya.”
Dalam Madzhab Syafi’i,
orang yang meninggalkan shalat bisa dikatakan kafir ketika dia meninggalkannya
karena mengingkari kewajiban shalat (jâhidan li wujûbihi). Akan tetapi, jika
meninggalkannya karena malas (kaslan) dan menyepelekan (tahâwun), orang
tersebut tidak dihukumi kafir, tetapi berdosa. (Fariduddin Attar, 2009, 272).
Karena itu sangat
penting untuk memahami keragaman hukum fikih untuk memperluas pengetahuan kita.
Orang yang berpengetahuan luas, biasanya tidak akan mempersulit tapi
mempermudah, seperti kisah ulama-ulama kita di masa lalu. Memberikan hukum yang
paling mudah untuk masyarakat umum, dan memberikan hukum yang paling berat
untuk dirinya sendiri.
Kisah di atas
mengajarkan kita beberapa hal:
Pertama, jangan mudah
menyalahkan amalan orang lain, siapa tahu dia mempunyai dasar hukum dalam
amalannya itu.
Kedua, pentingnya
mempelajari mekanisme pengambilan hukum fiqih (ushul fiqih), agar pemahaman
kita terhadap zahir teks lebih dekat dengan pemahaman yang benar.
Ketiga, pentingnya
mengetahui keragaman pendapat ulama. Ketika perbedaan pendapatnya masih dalam
wilayah furu’iyyah, tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Setiap pendapat
memiliki dasarnya sendiri-sendiri.
Tergantung pada
kekuatan nalar kita. Kita diberi kebebasan untuk memilih mana pendapat yang
lebih kuat, meski belum tentu pendapat yang menurut kita lebih kuat, lebih
benar dari pendapat lainnya.
Keempat, pintu taubat
selalu terbuka. Imam Syafi’i enggan menyebut orang yang meninggalkan shalat
sebagai orang kafir. Ia memandang semua manusia memiliki kesempatan yang sama
untuk kembali kepada Allah. Pendekatannya tidak menakuti orang-orang yang
terlanjur bermaksiat, tapi merangkul mereka.
Kelima, mencari
kebenaran, bukan kemenangan. Pada akhir diskusi, Imam Ahmad bin Hanbal diam.
Artinya, Ia membenarkan pendapat Imam Syafi’i. Ia tidak ngotot mempertahankan
pendapatnya, tapi menerimanya dengan tidak melakukan bantahan. Karena yang
mereka cari dari debat atau diskusi tersebu bukanlah kemenangan atau kemewahan
intelektual, melainkan kebenaran.
Pertanyaannya,
seberapa banyak kita luangkan waktu kita untuk belajar dengan guru yang
benar-benar mumpuni? Jika belum, kenapa kita mudah mengomentari wilayah di luar
keahlian kita, bahkan menyalahkannya? Semoga kita semua terhindar dari hal
tersebut. Amin.
Ust. Muhammad Afiq Zahara,
Santri di Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen, Jawa Tengah.
Posting Komentar