Ketika seseorang mendekat dengan
Allah maka ia akan semakin asyik dengan Allah, ia semakin tidak terganggu dan
risau dengan musibah, tidak pula terganggu dengan kenikmatan karena telah
merasakan hakikat kenikmatan yang lebih dari kenikmatan surga, hal itu ia
rasakan di dunia sebelum di surga. Ia akan merasakan kelezatan dzikir jauh
lebih nikmat daripada surga beserta isinya. Getaran jiwa yang rindu kepada
Allah sungguh sangat indah bahkan lebih indah dari surga, karena rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ
“ Barangsiapa yang rindu bertemu
dengan Allah maka Allah juga rindu bertemu dengannya ”
Jika seseorang telah dirindukan
perjumpaannya oleh Allah subhanahu wata’ala maka surga dan segala isinya
sangatlah pasti ia dapatkan. Seseorang yang telah dirindukan oleh Allah maka
siang dan malamnya penuh dengan keindahan bahkan selalu diperindah oleh Allah
subhanahu wata’ala. Sangat berbeda antara orang yang melewati hari-harinya
dengan kerinduan kepada Allah dan orang yang melewati hari-harinya dengan
pemikiran yang kosong, Allah Maha Melihat pada sanubari kita yang terdalam,
maka hari-hari dan malam-malamnya berbeda, detak nafasnya berbeda, karena
orang-orang yang merindukan Allah subhanahu wata’ala itu nafasnya jauh lebih
luhur daripada ibadah orang lain.
Dalam riwayat yang tsiqah dijelaskan bahwa
ketika seseorang sedang melakukan shalat maka syaitan mendekat kepadanya, dan
disebelah orang yang shalat ada orang yang sedang tidur, dan syaitan tidak bisa
mendekat kepada orang yang shalat tadi, ketika ditanya mengapa engkau (syaitan)
tidak bisa dekat kepada orang yang sedang shalat itu, maka syaitan itu
menjawab: “aku tidak bisa mendekat kepada orang yang shalat untuk
mengganggunya karena nafas orang yang tidur itu membakarku”, karena
orang yang tidur itu adalah orang yang rindu kepada Allah subhanahu wata’ala,
sehingga cahaya rabbul ‘alamin berpijar di dalam jiwanya.
Sebelum kita masuk ke alam sanubari yang rindu kepada Allah, nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ
اغْبرَّتْ قَدمَاهُ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“ Barangsiapa yang kakinya berdebu
(karena berjalan) di jalan Allah maka Allah haramkan darinya api neraka ”
Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani
menjelaskan bahwa hal itu bukan hanya untuk orang yang berjihad saja, tetapi
untuk semua orang yang melangkah menuju jalan yang diridhai Allah, termasuk
berjalan ke majelis dzikir, ke majelis ta’lim, ke majelis shalawat atau ke
masjid, karena hadits ini diriwayatkan ketika nabi Muhammad pergi untuk shalat
Jum’at, maka hal ini menunjukkan bahwa hadits ini bukan dikhususkan untuk yang
berjihad saja tetapi untuk semua orang yang melangkah menuju jalan yang
diridhai Allah, jika hanya kaki yang melangkah ke jalan yang diridhai Allah
terkena debu maka Allah haramkan dia dari api neraka, maka bagaimana dengan
jiwa yang rindu kepada Allah subhanahu wata’ala.
Oleh sebab itu dijelaskan di
dalam kitab Qabas An Nuur Al Mubin ringkasan dari kitab Ihya’
Ulumuddin oleh Al Musnid Al Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin
Salim Al Hafizh, bahwa ketika seseorang mengucapkan kalimat :
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“ Tunjukkanlah kami ke jalan yang
lurus ” ( QS. Al Fatihah: 6 )
Dan ia memahami serta mendalami
maknanya, sungguh rahasia kemuliaan ; derajat, anugerah, pahala dan lainnya
tersimpan dalam kalimat itu. Kalimat “Tunjukkanlah kami ke jalan yang
lurus”, maka ia telah mendoakan dan meminta petunjuk kepada Allah untuk
semua kaum muslimin. Disebutkan pula dalam riwayat Shahih Muslim ketika
seseorang membaca kalimat:
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(الفاتحة: 6-7 )
“ Tunjukkanlah kami ke jalan yang
lurus,(yaitu) jalan orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat ” (QS.
Al Fatihah: 6-7)
Allah menjawab:
هَذَا
لِعَبْدِيْ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ
“ Ini untuk hamba-Ku dan bagi
hamba-Ku apa yang ia minta ”
Maka hadirkan hati kita saat
mengucapkan kalimat itu, oleh karena itu diperintahkan kepada kita untuk
diucapkan minimal 17 kali sehari, untuk apa? untuk memperbaiki derajat kita
agar semakin tinggi menuju keluhuran, karena ketika kita sendiri yang berjuang
menuju keluhuran maka akan kita temui banyak hambatan, namun jika Allah yang
menuntun kita, meskipun kita tidak mau maka kita akan tertuntun menuju
keluhuran, misalnya seseorang tidak berniat untuk berbuat baik namun Allah
anugerahi kepada kebaikan, ia tidak berniat untuk berbuat yang luhur namun
Allah memberinya keluhuran karena Allah menghendakinya. Sebagaimana yang hadir
di mejelis dzikir ketika Allah berkata kepada malaikat: “wahai
malaikat-Ku, saksikanlah Aku telah mengampuni semua mereka yang hadir di
majelis dzikir itu”, maka malaikat berkata: “wahai Allah,
diantara mereka ada yang hadir bukan dengan niat ikhlas ibadah namun hanya
ingin mendengarkan saja dan sekedar ingin duduk bersama”, maka Allah
menjawab:
هُمُ
الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ
“ Orang yang duduk bersama mereka
(yang berdzikir) tidak akan dihinakan”
Hal ini menunjukkan bahwa niat berbuat baik
tidak ada namun Allah muliakan dia karena Allah telah memberikan kepadanya
keinginan untuk duduk bersama orang yang berdzikir padahal hatinya tidak ikut
berdzikir, apalagi yang datang dengan niat berdzikir dan hatinya ikut berdzikir.
Habib Munzir al Musawwa
Posting Komentar