Memang benar bahwa mencari ilmu sungguh terasa amat berat. Terutama
ilmu-ilmu yang dapat semakin mendekatkan diri kita kepada Allah. Karenanya,
tentu menjadi sangat benar, sabda Rasulullah SAW :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا
إِلَى الجَنَّةِ . رَوَاهُ مُسْلِم
Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah
pasti mudahkan baginya jalan menuju surga. (HR Muslim)
Pada hadits ini, ungkapan “salaka (menempuh Jalan)” bukan hanya mencakup
arti jalan secara indrawi yaitu jalan yang dilalui kedua kaki, seperti sesorang
pergi dari rumahnya menuju tempat untuk menimba ilmu baik berupa masjid,
madrasah, ataupun universitas dan lain sebagainya.
Namun termasuk pula mencakup arti jalan secara maknawi. Maksudnya adalah,
hal-hal yang memberatkan selama perjalanan tersebut, misalnya biaya dan waktu
yang tersita. Misalnya saja seseorang harus menempuh perjalanan jauh dalam
rangka mencari ilmu. Perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi
ke propinsi lain dan dari negerinya ke negeri lain untuk mencari ilmu. Maka ia
tidak hanya harus mengeluarkan biaya berupa harta, namun juga harus
mengorbankan perasaan untuk meninggalkan keluarga dan sahabat dan kampong
halaman yang dicintainya.
Ini semua adalah termasuk hal-hal yang harus bisa diatasi dalam menempuh
jalan untuk mendapatkan ilmu. Namun tentu semuanya akan tergantikan manakala ia
telah mendapatkan ilmu yang diinginkannya. Jika seseorang ingin sukses di
dunia, ilmu akan membawanya menuju kesuksesan. Dan jika ia ingin beruntung di
akhirat kelak, maka ilmu pulalah yang akan mendekatkan keberuntungan dan fadhal
Allah tersebut. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu ’Asakir :
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَمَنْ أرَادَ اْلأخِرَةَ
فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَمَنْ أرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ
Siapapun yang menghendaki (keberhasilan ) dunia maka ia harus berilmu,
Siapapun yang menghendaki (keberuntungan) akhirat, ia pun harus berilmu, dan
siapapun yang menghendaki keduanya, tentu ia harus berilmu.
Mestinya kita merenungkan kembali pernyataan sahabat Mu’adh bin Jabal RA. sebagaimana
dikutip dalam kitab Hilyat’ul Awliya Wa Tabaqat’ul Asfiya, bahwa meraih ilmu
pengetahuan adalah demi ridho Allah. Karena pengetahuan melahirkan kesalehan,
mengagungkan Ilahi dan takut akan dosa. Mencari ilmu demi ridho Allah adalah
ibadah, belajar adalah sikap mengingat kebesaran Allah (Zikir).
Sahabat Mu’adh juga menyatakan, mencari ilmu adalah perjuangan yang
pahalanya seperti pahala berjihad (berperang). Mengajarkannya ilmu kepada
mereka yang menganggapnya berharga adalah sedekah, dan mengamalkannya pada
rumah seseorang memperkuat tali silahturahmi di antara keluarga.
Ilmu adalah sahabat penyejuk ketika dalam kesendirian. Ilmu adalah sahabat
terbaik bagi para pengelana. Ilmu adalah sahabat terdekatmu yang menyampaikan
rahasianya kepadamu. Ilmu adalah pedangmu yang paling ampuh untuk lawanmu, dan
terakhir, ilmu adalah pakaian yang akan menaikkan derajatmu dalam jamaah
persaudaraanmu.
Telah jelas dalam firman Allah SWT :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى اَّلذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيَْن لاَ يَعْلَمُوْنَ
Adakah sama, antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui (QS. Az-Zumar, 39 : 9).
Tentu kita semua bisa menjawabnya dengan mudah. Karena ilmu jelas-jelas
membedakan antara mereka yang memilikinya dan mereka yang tidak memilikinya.
Maka sebagai akhir khutbah ini, saya ingin berpesan, marilah kita semua
tiada henti menuntut ilmu, hingga akhir hayat. Di mana pun dan kapan pun. Tak
terbatas hanya di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun di
pengajian-pengajian saja. Namuan juga dalam setiap hal dan kesempatan yang
diberikan oleh kehidupan kita. Karena ilmu pengetahuan adalah puncak segala kebahagiaan, sebagaimana
kebodohan adalah titik awal dari segala keburukan. Keselamatan datang dari
ilmu, kehancuran datang dari kebodohan.
Kyai M. Muslih Albaroni (Pengasuh Ponpes Hudatul Muna Dua
Jenes Ponorogo)
Posting Komentar