Ramadhan adalah sebuah upaya ritual dalam rangka
meningkatkan posisi kedekatan (taqarub) kepada Allah, Ilahi Rabbi. Semakin
serius seseorang mengisi ramadhan dengan kegiatan ibadah, maka akan semakin
dekat kepada Allah. Di mana akhirnya, semua akan dijalani dengan prinsip
pengendalian diri dalam menjalani kehidupan ini.
Momen Ramadhan tahun ini, alangkah baiknya masyarakat Indonesia meningkatkan
kualitas kedekatan kepada Allah. Hal ini dilakukan sebagai upaya keluar dari
berbagai permasalahan bangsa yang bertubi-tubi.
Jangan sampai kita yang sejak abad ke-7 H sudah mengenal Islam, justru belum
mampu mengekspresikan dan mengapresiasikan makna ajaran agamanya masing-masing.
Atau malah, kita belum mampu mengendalikan diri sendiri.
Hal tersebut diindikasikan dengan belum terlaksanakannya Rukun Iman yang kedua,
yakni Iman kepada malaikat. Dalam Rukun Iman yang kedua ini, sebenarnya kita
sudah meyakini bahwa semua amal baik dan amal buruk kita akan dicatat oleh dua
malaikat; Raqib (pencatat amal baik) dan Atid (pencatat amal buruk).
Kalau rasa keimanan ini kita implementasikan dalam realitas kehidupan,
sebenarnya terkandung makna pengawasan melekat dalam diri kita. Baik itu yang
selalu mengendalikan, melihat, memerhatikan, semua gerak langkah kita
sehari-hari, sampai terlepasnya energi kehidupan dari jasad kita.
Manusia shalat, zakat, shadaqah, tahajud, berpuasa, haji, sampai kepada
mencuri, berzina, mencari rezeki, tidur hanya sekadar buang nafas, semua
terawasi dalam pengawasan melekat Allah yang ada dalam diri kita. Ini didukung
oleh Firman Allah di dalam Alquran, “Sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya." (Qaaf: 16).
Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud ayat tersebut adalah para malaikat, yakni
bahwa para malaikat Allah lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya.
Jelasnya, yang dikehendaki Allah dari makna ayat tadi adalah para malaikat,
bukan Dia (Mukhtashar Ibn Katsir, III, hal. 373).
Pendapat tersebut didasarkan kepada firman Allah berikutnya, “yaitu, ketika dua
malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang
lain duduk di sebelah kiri." (‘idz yatalaqa al-mutalaqiyaani ‘anil yamini
wa ‘anis-syimali qa’idun Qaaf: 17).
Pengawasan sesuatu sangat penting, dalam konteks bangsa Indonesia dengan
maraknya berbagai kasus kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Penggelapan, "penyunatan", kebocoran, korupsi,
ijazah palsu dan lain sebagainya.
Ada sebuah ide menarik, bahwa hal-hal semacam itu terjadi dikarenakan kurangnya
sistem kita dalam menerapkan sisi-sisi pengawasan. Baik pengawasan yang
sifatnya eksterternal maupun internal.
Untuk itu, pengawasan yang diterapkan oleh sistem kita ternyata belum dapat
maksimal. Entah itu pengawasan internal seperti lembaga inspektorat, atau
eksternal dari BPK, BPKP, dan lain sebagainya.
Sudah saatnya melirik kepada sistem pengawasan yang diajarkan oleh ajaran agama
kita, yaitu pengawasan internal, melekat, sesuai dengan keyakinan kita
masing-masing. Seandainya sekarang dalam birokrasi di Indonesia banyak sekali
badan pengawas, ini menunjukkan bahwa sebenarnya umat Muslim di Indonesia belum
maksimal dalam menjalankan ajaran Agamanya.
Setiap manusia dikawal oleh dua malaikat yang bertanggung jawab mencatat
perbuatannya yang baik maupun buruk. Satu di sebelah kanan mencatat
kebaikannya, satunya lagi di sebelah kiri mencatat keburukannya.
Sebenarnya Allah tidak butuh catatan dua malaikat, sebab Dia lebih mengetahui
daripada keduanya. Tujuan pencatatan adalah, tersedianya buku catatan pada saat
dibutuhkan, yaitu ketika penghitungan amal di hari kiamat.
Sebagaimana di dunia, kalau tidak ada bukti suatu kejahatan sulit diperkarakan.
Jika manusia meninggqal dunia, buku catatan amalnya ditutup dan pada hari
kiamat buku itu akan berbicara. “Bacalah buku catatan amalmu. Cukup dirimu
sajalah hari ini sebagai penghisap bagimu."
Apabila seseorang mengetahui tujuan pencatatan amal disertai dengan kesadaran
penuh, maka bertambahlah rasa cintanya kepada perbuatan baik dan menghentikan
perbuatan yang buruk. Jika kesadaran seperti itu telah terbentuk, maka tugas
pengawasan yang dilakukan terutama oleh instansi yang berwenang menjadi sangat
ringan, bahkan tidak diperlukan lagi.
Upaya tersebut merupakan salah satu usaha, agar setiap orang mengendalikan diri
dari perbuatan yang merugikan negara. Sekaligus menghindarkan keinginan
mengambil keuntungan yang bukan haknya. Upaya ini sangat mulia dan diperlukan.
Sebab, pasang surutnya Iman kadang-kadang dapat membuat orang melupakan jati
dirinya, sebagai hamba yang selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Wa Allahu
A’lam!
Ust. Asmawi Mahfudz, Pengasuh
PP al-Kamal Kunir Blitar dan Pengajar di STAIN Tulungagung

Posting Komentar