"Orang-orang zuhud ketika dipuji, mereka sedih, karena melihat pujian
itu datangnya dari makhluk. Sedangkan orang-orang yang ’arif billah ketika
dipuji mereka bersukacita, sebab pujian itu hakikatnya dari Allah Sang Maha
Diraja."
Para a’rifun menyaksikan perbuatan makhluk itu dari segi wujud pemberlakukan
Allah SWT. pada mereka. Karena itulah sang arif senantiasa melihat makhluk
sebagai “pena”-nya Allah Ta’ala. Maka bila mereka dipuji, mereka bersukacita
karena yang dipandang adalah pujian Allah bukan pujian makhluk, lalu semakin
bertambah kuat kebahagiaannya pada Tuhannya, tenteram kepadaNya dan tetap lari
dari segala hal selain Dia.
Selain sang arif memandang pujian datang dari makhluk itu sendiri, lalu ia
menerima dan menolak merutut persepktif kemakhlukan. Pujian bila muncul,
ia senang dan bila yang muncul cacian ia sedih, maka disitulah pujian menjadi
bentuk penyembelihan atas dirinya. Bila ia tergolong orang yang zuhud, ia
membenci pujian itu dan lebih senang dicaci. Karena sang zahid masih juga
emmandang itu dari makghluk, dank arena kezuhudannya, ia takut jika pujian
meracuni hatinya. Hal ini tentu berbeda dengan sang arif.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi SAW, “Taburkan debu kemuka para pemuji” dan “Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang mematikan).”
Beliau juga memperingatkan orang yang memuji, “Kalian memenggal leher sahabatmu?”
Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak pernah dilihat dari makhluk, tetapi
dari Allah Azza wa-Jalla, sebagaimana hadits Nabi SAW, “Bila Allah mencintai
seorang hamba maka Jibril diundang, dan berfirman, “Aku mencintai si Fulan.”
Lalu Jibril pun mencintai si Fulan itu, lantas Jibril mengumumkan kepada ahli
langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan!”. Ahli langit pun
mencintai si Fulan itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu meneruskan:
“Manakala anda dihamparkan anugerah pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang
diberi. Jika anda terhalang dari pemberian anda sebutkan sebagai kegagalan. Itu
menunjukkan betapa kekanak-kanakannya diri anda, dan anda belum benar dalam
menjalankan ubudiyah anda.”
Hikmah di atas masih berkait dengan deretan perilaku murid ketika merespon
pemberian, sukses, gagal Dan pujian serta cacian. Bila seseorang masih menilai pemberian itu Dari segi wujud nyata pemberian dan
kegagalan dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan, menunjukkan bahwa
kehambaannya pada Allah sangat minim. Padahal semua itu sama-sama pemberian dari Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk
sukses, ada yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang berbentuk pujian ada pula
yang cacian.
Abu Utsman al-Hiiry menegaskan, “Seseorang belum disebut sempurna manakala
empat hal ini belum sama di hatinya: Dalam soal kegagalan, dalam soal
pemberian/sukses, soal kemuliaan dan soal hinaan.”
Banyak orang yang mengukur pemberian dan anugerah dari bentuk nyata benda,
materi, nama besar, popularitas, dan massa pendukung. Seakan-akan jika ia
meraih semua itu, ia telah mendapatkan restu dari Allah Swt. Sebaliknya yang
gagal, kalah, tak meraih kesuksesan materi dianggap tidak meraih ridhoNya.
Inilah salah kaprah yang berkembang di kalangan ummat yang harus diluruskan.
Sufinews, diambil dari kalam Syaikh Ibnu Athaillah Assakandary
Posting Komentar