Peranan tokoh-tokoh Islam mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya mampu mengamankan akidah Islamiyah penduduk negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini. Padahal, selama hampir empat abad kaum penjajah memaksakan kekufurannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat itu.
Tak bisa dipungkiri, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia mengusir kaum imperialis (penjajah) dari tanah air tercintanya tidak lepas dari peranan besar tokoh-tokoh Islam negeri ini. Bahkan, tidak sedikit pemuka agama samawi itu terjun langsung berada di lini depan memimpin perang. Sehingga, tak sedikit pula yang berpulang keharibaan Ilahi Robbi sebagai pahlawan syuhada.
Tak terhitung jumlah tokoh muslim Nusantara ini gugur sebagai syuhada, diantaranya oleh Pemerintah Republik Indonesia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kita ketahui Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Bung Tomo, serta masih banyak lagi yang mengobarkan semangat jihad para pejuang untuk berperang memaksa penjajah hengkang dari bumi pertiwi, bahkan menghancurkannya.
Selama hampir empat abad masa penjajahan di Indonesia, para syuhada yang diantaranya alim ulama berada di tengah-tengah pejuang muslim. Mereka senantiasa memacu semangat hizbullah itu untuk memerangi bangsa kuffar di wilayahnya masing-masing. Yang tidak berada di medan laga biasanya dipercaya memegang kendali strategi perang, dan senantiasa menjadi rujukan para pejuang untuk menentukan arah gerakannya. Ke mana pun pejuang bergerak, para ulama itu setia mendampingi.
Tidak itu saja, dari peranannya mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya, saat bangsa imperialis berusaha kembali bercokol di negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini, kekokohan akidah Islam negeri ini tetap aman. Padahal, kaum penjajah itu tidak sekedar ingin menguasai tanah air, tetapi juga memaksakan kekafirannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat terhadap religinya itu.
Selain itu, melalui kawalan para tokoh-tokoh Islam penerusnya, awal terbangunnya negeri ini sarat diwarnai nuansa dan norma-norma hukum Islami, diantaranya ketika perumusan Undang-undang Dasar 1945. Demikian pula penghuni salah satu negeri di Asia Tenggara ini, hingga enam puluh tiga tahun kemerdekaannya sebagian besar masih setia dengan syariat agamanya, berkat perjuangan pemimpin Islam tersebut. Kondisi ini yang harus kita upayakan agar tetap terjaga aman ilaa yaumil qiyamah.
Di sinilah perlunya kita memahami kiprah mereka untuk memantapkan keyakinan bahwa Islam beserta para pemimpinnya di negeri Pancasila ini telah menyumbangkan andil cukup signifikan di masa perjuangan kemerdekaan, pembentukan negara berdaulat, hingga liku-liku perjalanannya saat ini.
Sudah 65 tahun negeri ini lepas dari cengkraman penjajah. Kita sudah bisa merasakan hidup sebagai orang yang bebas dan negara kita telah mendapatkan kemuliaan sebagai bangsa yang berdaulat. Dalam pelajaran sejarah atau buku-buku tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, kita sering mendapati bahwa kemerdekaan bangsa ini adalah di tangan para pahlawan pejuang bangsa yang gigih dan gagah berani. Sisi nasionalisme sang pahlawan diangkat tak berimbang, sehingga kita hampir saja tidak mengetahui fakta bahwa mayoritas perjuangan pahlawan bangsa di berbagai pelosok tanah air ini didasari faktor jihad fii sabilillah. Para pahlawan kita berorientasi Rabbani. Hal tersebut sengaja tidak dirincikan, mungkin khawatir akan berpengaruh pada niat semangat para generasi penerus bangsa. Ketahuilah bahwa kemerdekaan Indonesia ini dimotori oleh para Ulama yang pejuang, pejuang yang seorang pahlawan. Berbanggalah kita muslim Indonesia!
Umat Islam memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan nasional. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda selalu bernafaskan jihad melawan orang-orang yang kufur. Sebagai contoh, sewaktu Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa.
Pemberontakan petani menantang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam. Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, dan seterusnya oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda yang menyengsarakan umat Islam. Begitu juga dengan perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Kata padre berasal dari kata 'Padre' yang berarti 'pendeta' atau 'pastur'. Nama perang ini diberikan Belanda, meskipun Belanda memberi penafsiran yang salah bahwa pejuang-pejuang itu adalah 'pendeta-pendeta.'
Dalam perjuangan sosial-politik yang bermuara pada kebangkitan nasional, umat Islam Indonesia berada pada barisan paling depan sebagai pelopor. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 yang kemudian menjelma menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 merupakan pelopor kebangkitan nasional. Namun ketika pertama kali dilakukan peringatan hari kebangkitan nasional ialah Boedi Oetomo (BO), sehingga peringatan kebangkitan nasional jatuh pada tanggal 20 Mei sebagai hari berdirinya perkumpulan BO, bukan tanggal 16 Oktober sebagai kelahiran SDI. Dari sini terkesan adanya upaya marginalisasi (peminggiran) - atau bahkan penghapusan - peran umat Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Mengapa kecenderungan itu terjadi? Padahal sesungguhnya fakta peran umat Islam dalam kebangkitan nasional itu benar adanya. Umat Islam di Indonesia sudah melakukan optimalisasi peran dalam menuju kebangkitan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Tentu, kita juga tidak menepikan para pejuang yang telah berkorban untuk bangsa ini dari kepercayaan agama lain. Selanjutnya, yang harus kita lakukan sebagai ungkapan syukur atas nikmat kemerdekaan ini adalah mengisinya dengan amar ma'ruf nahi munkar. Kita teruskan semangat juang para pahlawan kita, dengan semangat juang karena Allah ta'ala. Wallahua'lam.
Forsan Salaf
Posting Komentar