Ada dua jenis pengetahuan yang dapat dimiliki manusia, yaitu ilmu dan marifah. Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar dan logika disebut ilm (ilmu). Pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin dan kontemplasi disebut marifah (makrifat). Ilmu dapat diperoleh siapa saja orang yang mau belajar, misalnya dengan membaca, meneliti, dan mengobservasi. Dari anak kecil sampai dewasa. Sedangkan marifah sidak semua orang dapat mengaksesnya, karena membutuhkna metodologi tersendiri yang relatif berbeda dengan metodologi ilmu. Dalam metodologi ilmu pendekatannya lebih bersifat obyektif, empiris, rasional, dan pragmatis.
Sedangkan ma'rifah metodologinya lebih bersifat subyektif dan emosional dalam arti mengandalkan rasa, bukan rasio. Orang yang memperoleh banyak ilmu disebut ilmuan atau alim (alim) dan orang memperoleh marifah atau kearifan disebut arif (arif). Orang yang alim belum tentu arif dan orang yang arif belum tentu arif, namun pada umumnya orang arif adalah ilmuan dan ilmuan belum tentu arif.
Ciri-ciri ilmuan antara lain seorang yang mampu memecahkan persoalan secara empiris-obyektif, misalnya menemukan teori untuk mengubah pohon mangga yang tadinya buahnya asem menjadi manis, melipatgandakan populasi ternak melalui teknik-teknik tertentu, membuat besi terapung di permukaan laut, membuat besi terbang di udara, menemukan penyebab kematian melalui teknik forensic, dan sebagainya. Sedangkan ciri-ciri arif antara lain sebuah pribadi yang mampu menampilkan pengertian dan pemahaman yang mendalam (wishdom) di dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah, memiliki kedekatan diri dengan Tuhan yang terpancar dalam pikiran dan perilaku yang shaleh secara individu dan sosial, seperti ikhlas dalam beramal, santun dalam bertindak, dan lebih banyak mengerti orang lain dari pada menyalahkan. Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda orang itu masih perlu belajar, orang yang menyalahkan dirinya sendiri pertanda sudah sedang belajar, dan orang yang tidak lagi menyalahkan siapa-siapa pertanda orang itu sudah selesai belajar, karena sudah arif.
Dalam menjalani kehidupan, manusia harus memiliki dua-duanya, ilmu dan kearifan. Kalau manusia hanya memiliki ilmu semata maka dikhawatirkan akan menjadi serigala yang dapat memangsa orang lain. Sedangkan manusia yang hanya memiliki kearifan dikhawatirkan akan seperti keong yang lamban dan selalu bersembunyi di dalam rumah kediamannya sendiri.
Ilmu untuk membantu manusia menunaikan tugasnya sebagai pemimpin jangat raya (khalifah) di bumi dan marifah untuk membantu manusia menunaikan tugasnya sebagai hamba (abid). Manusia pari purna (insan kamil) ialah manusia yang mampu mengembang kedua tugas suci ini. Untuk menjadi insan kamil manusia harus mampu mengaktualisasikan kedua jenis ilmu tersebut.
Dalam Islam, dualitas pengetahuan itu tidak tampak. Bahkan integrasi dan sinergi kedua jenis pengetahuan ini lebih dominan dalam ontology, epitimologi, dan aksiologi Islam. Ayat pertama dan sekaligus perintah pertama Tuhan dalam Al-Quran ialah iqra bi ismi Rabbik (bacalah dengan nama Tuhanmu). Iqra simbol pengetahuan ilmu dan bi ismi Rabbik simbol pengetahuan marifah. Iqra tanpa bismi Rabbik sama dengan ilmu tanpa agama, dan bi ismi Rabbik tanpa iqra sama dengan agama tanpa pengetahuan. Boleh jadi pernyataan Enstein: Ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh diinspirasi oleh ayat pertama ini. Jika Indonesia ingin maju, majulah bersama Al-Quran. Pasti pada saatnya Indonesia bukan hanya akan menjadi pusat peradaban Islam tetapi juga pusat peradaban dunia, insya Allah.
Prof KH. Nasaruddin Umar
Sedangkan ma'rifah metodologinya lebih bersifat subyektif dan emosional dalam arti mengandalkan rasa, bukan rasio. Orang yang memperoleh banyak ilmu disebut ilmuan atau alim (alim) dan orang memperoleh marifah atau kearifan disebut arif (arif). Orang yang alim belum tentu arif dan orang yang arif belum tentu arif, namun pada umumnya orang arif adalah ilmuan dan ilmuan belum tentu arif.
Ciri-ciri ilmuan antara lain seorang yang mampu memecahkan persoalan secara empiris-obyektif, misalnya menemukan teori untuk mengubah pohon mangga yang tadinya buahnya asem menjadi manis, melipatgandakan populasi ternak melalui teknik-teknik tertentu, membuat besi terapung di permukaan laut, membuat besi terbang di udara, menemukan penyebab kematian melalui teknik forensic, dan sebagainya. Sedangkan ciri-ciri arif antara lain sebuah pribadi yang mampu menampilkan pengertian dan pemahaman yang mendalam (wishdom) di dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah, memiliki kedekatan diri dengan Tuhan yang terpancar dalam pikiran dan perilaku yang shaleh secara individu dan sosial, seperti ikhlas dalam beramal, santun dalam bertindak, dan lebih banyak mengerti orang lain dari pada menyalahkan. Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda orang itu masih perlu belajar, orang yang menyalahkan dirinya sendiri pertanda sudah sedang belajar, dan orang yang tidak lagi menyalahkan siapa-siapa pertanda orang itu sudah selesai belajar, karena sudah arif.
Dalam menjalani kehidupan, manusia harus memiliki dua-duanya, ilmu dan kearifan. Kalau manusia hanya memiliki ilmu semata maka dikhawatirkan akan menjadi serigala yang dapat memangsa orang lain. Sedangkan manusia yang hanya memiliki kearifan dikhawatirkan akan seperti keong yang lamban dan selalu bersembunyi di dalam rumah kediamannya sendiri.
Ilmu untuk membantu manusia menunaikan tugasnya sebagai pemimpin jangat raya (khalifah) di bumi dan marifah untuk membantu manusia menunaikan tugasnya sebagai hamba (abid). Manusia pari purna (insan kamil) ialah manusia yang mampu mengembang kedua tugas suci ini. Untuk menjadi insan kamil manusia harus mampu mengaktualisasikan kedua jenis ilmu tersebut.
Dalam Islam, dualitas pengetahuan itu tidak tampak. Bahkan integrasi dan sinergi kedua jenis pengetahuan ini lebih dominan dalam ontology, epitimologi, dan aksiologi Islam. Ayat pertama dan sekaligus perintah pertama Tuhan dalam Al-Quran ialah iqra bi ismi Rabbik (bacalah dengan nama Tuhanmu). Iqra simbol pengetahuan ilmu dan bi ismi Rabbik simbol pengetahuan marifah. Iqra tanpa bismi Rabbik sama dengan ilmu tanpa agama, dan bi ismi Rabbik tanpa iqra sama dengan agama tanpa pengetahuan. Boleh jadi pernyataan Enstein: Ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh diinspirasi oleh ayat pertama ini. Jika Indonesia ingin maju, majulah bersama Al-Quran. Pasti pada saatnya Indonesia bukan hanya akan menjadi pusat peradaban Islam tetapi juga pusat peradaban dunia, insya Allah.
Prof KH. Nasaruddin Umar
Posting Komentar