“Engkau, wahai Abu Bakar, memegang kehati-kehatian. Sedang engkau, wahai Umar, memegang kekuatan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah).
Kalimat itu disabdakan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai pujian terhadap langkah berbeda yang ditempuh oleh Abu Bakar dan Umar Radhiyallâhu ‘anhum mengenai pelaksanaan salat witir. Abu Bakar melakukannya sebelum tidur, sedangkan Umar melakukannya di akhir malam, menjelang subuh. Abu Bakar khawatir witir itu terlepas, sedangkan Umar cenderung memilih yang paling berat.
Mengambil yang lebih berat merupakan ciri khas keagamaan Sayidina Umar. Sejarawan sufi, Abu Nasr as-Sarraj, menyebut ciri khas itu sebagai salah satu poin utama tasawuf Umar yang diteladani oleh para sufi masa berikutnya. Ini juga merupakan bentuk lain dari kepribadian Umar yang keras dan kokoh. Kepribadian itu dibawa sejak jahiliyah, dan ketika dipoles dengan kebenaran Islam, maka melahirkan figur Umar yang begitu luar biasa.
Umar bin al-Khatthab memilih menjalani kehidupan yang berat. Ketika menjadi khalifah terdapat belasan tambalan di jubah dan sarung beliau. Beliau memakan roti kasar dari bahan tepung murahan di bawah standar tepung yang biasa dikonsumsi oleh rakyatnya. Sejarawan Ibnu Sa’d menyebutkan bahwa Abu Hafsh bin Abil-Ash, salah satu rakyat Khalifah Umar, pernah menolak suguhan makan yang diberikan oleh beliau.
“Apa yang menghalangi engkau untuk memakan hidangan kami?” tanya Umar.
“Makananmu sangat kasar. Biar aku makan roti empuk yang telah disiapkan untukku.”
“Apa kau kira aku tidak bisa menyuruh orang untuk menyembelih kambing yang dibersihkan habis bulu-bulunya; tepung yang disaring dengan kain, lalu dibuat menjadi roti empuk. Lalu, satu sha’ kismis dicampur lemak dan diaduk dengan air hingga mirip dengan darah kijang!?”
“Oh, rupanya Anda juga tahu tentang cara hidup yang nikmat.”
“Iya! Demi Tuhan yang aku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya hidup nikmat itu tidak menghapus amal-amal baikku, niscaya aku bergabung dalam gaya hidup nikmat kalian.”
Dialog itu menunjukkan betapa kokohnya kepribadian beliau dalam menjalani pilihan yang lebih berat dalam ajaran agama. Hal itu juga menunjukkan betapa kerasnya prinsip kezuhudan yang beliau pegang dalam hidupnya.
Prinsip itu pula yang beliau terapkan dalam berbagai kebijakannya selama menjadi khalifah. Beliau bekerja keras untuk menyejahterakan rakyat dan meratakan jatah Baitul Mal kepada mereka, namun di sisi lain beliau dikenal begitu sulit memberikan dana Baitul Mal kepada keluarganya sendiri, apalagi untuk dirinya sendiri.
Selama menjadi khalifah beliau memilih hukuman yang paling berat jika ada keluarganya yang melanggar. Abdur-Rahman bin Umar, putra beliau, dihukum dua kali atas pelanggaran minum khamr, karena Sayidina Umar menganggap hukuman pertama yang diberikan oleh Gubernur Mesir, Amr bin al-Ash, masih belum memenuhi kriteria. Hukuman kedua dari ayahnya itu membuat Abdur-Rahman jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Hal yang sama terjadi kepada putra Umar yang lain, Abu Syahmah, dalam kasus pelanggaran zina. Umar Radhiyallâhu ‘anhu menolak menghentikan hukuman 100 cambuk atas putranya, meskipun para Sahabat mendesak agar beliau menunda sisa hukuman itu karena Abu Syahmah sudah terlihat kritis. Abu Syahmah akhirnya juga meninggal dunia karena hukuman yang diberikan oleh ayahnya sendiri.
Umar bin al-Khatthab Radhiyallâhu ‘anhu bukannya tidak sayang kepada putranya itu. Beliau begitu sayang, beliau menangis seraya memangku jenazah putranya. Tapi, beliau sudah begitu terbiasa melakukan sesuatu yang terasa begitu berat di hatinya. Beliau seringkali berperang melawan keinginan. Mungkin karena itulah Sayidina Umar dikenal sebagai figur Lâ yakhâfu fil-lâhi laumata lâ’im (Dalam mengucapkan dan melakukan kebenaran beliau tidak takut cercaan siapapun).
Barangkali, tidak ada orang yang tak merasa berat dalam menghadapi celaan dan cibiran orang. Tapi, bagi Sayidina Umar, perasaan berat itu adalah musuh yang harus diperangi. Beliau tak begitu mengindahkan status lain selain status kebenaran. Sikap senang atau benci, sikap mendukung atau marah, semata-mata dimunculkan oleh faktor Lillâhi Taala, bukan oleh faktor-faktor yang lain.
Imam al-Ghazali menyebut tokoh yang memiliki keistimewaan semacam ini sebagai pemilik predikat al-khawâsh al-aqwiyâ’ atau orang-orang istimewa yang kuat dalam menjalankan agamanya. Merekalah orang yang paling layak untuk mengemban amanat kekuasaan untuk mengatur rakyat. “Orang-orang khusus yang kuat, tidak selayaknya, menolak kekuasaan… Yang aku maksud dengan orang kuat di sini adalah orang yang tak tergoda oleh dunia, yang tak dikuasai oleh ketamakan, dan dalam melaksanakan perintah Allah tak takut sedikitpun terhadap cercaan orang,” demikian tegas Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’.
Sayidina Umar mengucapkan kebenaran dan melakukan nahi munkar sepahit apapun itu. Maka oleh karena itu, setan pun takut kepada beliau. Maksudnya, kemunkaran merasa sangat takut untuk menampakkan diri di hadapan Umar, karena beliau pasti akan memberantasnya dengan keras. “Demi Allah, setiap kali setan menjumpaimu melintasi sebuah jalan, maka ia mengambil Shallallâhujalan lain yang bukan jalanmu,” demikian puji Rasulullah ‘alaihi wasallam kepada Umar. “Bila Umar meninggal dunia, maka engkau akan melihat banyak hal yang engkau ingkari,” demikian kata Sayidina Khalid bin al-Walid.
Barangkali karena kekokohan beliau dalam memberantas kemunkaran dan menyuarakan kebenaran, maka sebagai buahnya, dari mulut beliau pun muncul ucapan-ucapan benar yang tak terjangkau oleh orang lain. Beliau mendapatkannya melalui ilham atau cahaya firasat yang terang. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di tengah-tengah umat sebelum kalian terdapat orang-orang yang mendapatkan ilham. Kalau ada satu orang di antara umatku (yang mendapat ilham) maka ia adalah Umar.” (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Itulah yang dalam ajaran tasawuf disebut kasyaf. Ada banyak kisah-kisah sejarah yang menunjukkan kekasyafan Sayidina Umar. Beberapa ayat dalam al-Qur’an diturunkan persis seperti ucapan Sayidina Umar. Sayidina Umar juga pernah memberi aba-aba kepada pasukan pimpinan Sariyah bin Zanim yang bertempur di Persia Selatan, ribuan mil dari Madinah. Beliau juga pernah menceritakan dengan persis mimpi yang dialami oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib menjelang fajar; dan lain sebagainya.
Penulis Berasal Dari Ponpes Sidogiri
Posting Komentar