Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa kelak di Hari Kiamat, setelah manusia ditimbang amalnya di atas Mizan, akan digiring menuju tempat gelap yang disebut Mauqif. Kemudian mereka diperintah untuk melintasi Shirath (jembatan) yang dibentangkan di antara tempat itu dengan Surga. Tepat di bawahnya ada Neraka Jahanam yang siap melahap siapa saja yang jatuh dari jembatan tersebut dengan kobaran apinya. Setiap orang akan melintasinya dengan cara mereka masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lambat, ada yang sampai ke surga, ada pula yang terjatuh ke neraka. Semuanya tergantung amal mereka di masa hidup mereka.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya, “Dan tak ada seorangpun dari kalian melainkan akan mendatanginya (Neraka). Hal itu bagi Tuhan merupakan sebuah kemestian yang sudah ditetapkan” (QS Maryam [19]: 71). Menurut pendapat yang , seperti dikutip Imam al-Malibari dan disahihkan Imam Nawawi. Al-Isti’dâd lil-Mauti wa Su’âlil-Qabri, bahwa yang dimaksud dengan kata wâriduhâ dalam ayat di atas adalah melintasi Shirath yang berada di atas Neraka Jahanam sebelum masuk Surga.
Secara bahasa, Shirath adalah jalan yang membentang luas dan begitu jelas. Sedangkan secara Syar’i adalah jalan yang membentang di atas Neraka Jahanam yang akan disebrangi oleh manusia mulai dari zaman dahulu sampai zaman akhir. Ia terletak di antara Mauqif dan Surga. Ukurannya lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Kadar luas dan sempitnya tergantung kadar amal dan perbuatan orang yang akan melintasinya. Orang yang berhasil melintasinya berarti berhasil melintasi Neraka Jahanam, karena Neraka terletak di bawah Shirath.
Imam Ghazali dan Izzuddin bin Abdissalam tidak setuju kalau Shirath itu dikatakan lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Menurut pandangan keduanya, Shirath itu bentuknya lebar, seperti penjelasan Hadis riwayat Imam al-Baihaqi dan lainnya, yang menerangkan bahwa malaikat dan besi-besi pengait (kalâlib) berada di tepi jembatan tersebut (Syi’bil Imân: 1/149). Dengan dalil ini, bisa disimpulkan bahwa Shrath itu bentuknya lebar, karena jika Shirat dikatakan setipis rambut, tidak masuk akal. Sedangkan Hadis yang menerangkan bahwa Shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang merupakan kiasan dari sulitnya melintasi jembatan itu.
Sebagai orang muslim, kita wajib meyakini bahwa Shirath benar-benar ada dan kita semua akan melintasinya kelak di hari pembalasan. Berdasarkan al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ (konsensus) ulama. Hanya saja ulama berbeda pendapat mengenai yang dimaksud “Shirath”. Mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah mengartikan Shirath dengan arti denotatif (hakikat). Yakni jembatan yang dibentangkan antara Mauqif dan Surga, yang tepat berada di atas Neraka Jahanam. Berbeda dengan yang dikemukakan Muktazilah, yang lebih cendererung mengartikannya secara konotatif (majas). Artinya, Shirath itu bukanlah jembatan, melainkan jalan yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, atau jalan yang bisa mengantarkan seseorang ke neraka.
Pendapat kedua diusung oleh Abdul Jabbar al-Muktazili beserta pengikutnya. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa jika Shirath diartikan jembatan yang membentang di atas neraka, maka sangat tidak masuk akal, karena tidak akan ada seseorang yang mampu melintasinya. Kalaupun masuk akal, ini tentu cukup menyiksa kepada orang mukmin. Semestinya tidak ada siksaan di hari pembalasan untuk orang-orang mukmin. Ada juga sebagian dari Muktazilah yang mengartikannya sebagai bukti yang nyata, atau perbuatan buruk. Namun pendapat-pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena sudah ada nahs yang sharîh (jelas), yang menerangkan bahwa Shirath adalah jembatan.
Panjang Shirath sekitar tiga ribu atau lima belas ribu tahun perjalanan normal. Ibnu Arabi berkata, “Shirath mempunyai tujuh jembatan lengkung (qantârah). Jarak antara satu qantârah dengan yang lain sekitar tiga ribu tahun; seribu tahun untuk menaikinya, seribu tahun untuk lewat di atasnya, dan seribu tahun turun. Pada saat memasuki qantârah pertama seorang hamba akan ditanyakan perihal imannya. Jika ia mampu menjawab dengan baik, maka ia boleh meneruskan perjalanannya hingga ke qantârah kedua, dan selanjutnya. Dan pada qantârah kedua ia akan ditanyakan tentang salat yang dilakukannya setiap hari. Jika dia mampu menjawabnya dengan tepat, maka ia boleh melanjutkan perjalanannya menuju qantârah ketiga.
Pada saat berada di qantârah ketiga, hamba akan ditanyakan mengenai zakat. Jika ia berhasil menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan tepat, maka ia akan melanjutkan pada qantârah keempat. Kemudian ia akan ditanyakan seputar ibadah puasa yang ia kerjakan. Pada qantârah kelima, ia akan ditanyakan mengenai haji dan umrahnya. Pada qantârah keenam, ia akan di tanyakan mengenai thahârah (sesuci) nya. Kemudian pada qantârah ketujuh, ia akan di tanyakan prihal kezaliman yang pernah ia kerjakan. Bila ia berhasil melintasinya, maka ia bisa masuk Surga. Namun apabila ia tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada setiap qantârah dengan baik, maka ia akan ditahan dulu selama seribu tahun perjalanannya, hingga Allah SWTmemutuskannya nasibnya.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang , disusul kali pertama akan melintasi Shirath adalah Nabi Muhammad dan ummatnya, kemudian Nabi Musa kemudian ummat-umatnya, kemudian Nabi Isa dan ummatnya, dan seterusnya. Dan yang terakhir adalah Nabi Nuh Musa bersama kaumnya. Sedangkan yang akan melintasi Shirath kelak di akhirat adalah semua manusia, mulai dari yang hidup di zaman dahulu sampai yang hidup di akhir zaman, termasuk orang-orang kafir.
Akan tetapi Ibnu Rajab al-Hanbali dan didukung beberapa ulama lain berpendapat, bahwa orang kafir dan orang musyrik tidak akan melintasinya. Sebab mereka sudah digiring terlebih dahulu ke Neraka bersama tuhan-tuhan mereka setelah hari Hasyr, sebelum sampai di Shirath, sebagaimana tercantum dalam ayat al-Qur’an yang artinya, “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka”(QS ash-Shâffât [37]: 22-23).
Orang-orang menyebrangi Shirath dengan bermacam cara. Ada yang menyebrang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang seperti hembusan angin, ada seperti terbangnya burung, ada yang sepeti larinya kuda, ada yang berlari biasa, ada yang seperti berjalan kaki, ada merangkak. Semua itu tergantung amalnya saat di dunia. Bila amal seseorang itu baik, maka akan melintasinya dengan lebih cepat. Demikian sebaliknya. Karena itu, para ulama menganjurkan kita agar istikamah menjalani ‘Shirath’ yang ada di dunia (agama), agar kelak kita bisa selamat saat melintasi Shirath di akhirat. Wallahu 'A'lam.
Refrensi: Tanwîrul-Qulûb, Fathul-‘Allâm, Bashâ’ir wa Basyâ’ir, Al-Qiyâmatul-Kubrâ, Fatâwâ al-Azhâr, Syarah Jawâhirut-Tauhîd
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya, “Dan tak ada seorangpun dari kalian melainkan akan mendatanginya (Neraka). Hal itu bagi Tuhan merupakan sebuah kemestian yang sudah ditetapkan” (QS Maryam [19]: 71). Menurut pendapat yang , seperti dikutip Imam al-Malibari dan disahihkan Imam Nawawi. Al-Isti’dâd lil-Mauti wa Su’âlil-Qabri, bahwa yang dimaksud dengan kata wâriduhâ dalam ayat di atas adalah melintasi Shirath yang berada di atas Neraka Jahanam sebelum masuk Surga.
Secara bahasa, Shirath adalah jalan yang membentang luas dan begitu jelas. Sedangkan secara Syar’i adalah jalan yang membentang di atas Neraka Jahanam yang akan disebrangi oleh manusia mulai dari zaman dahulu sampai zaman akhir. Ia terletak di antara Mauqif dan Surga. Ukurannya lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Kadar luas dan sempitnya tergantung kadar amal dan perbuatan orang yang akan melintasinya. Orang yang berhasil melintasinya berarti berhasil melintasi Neraka Jahanam, karena Neraka terletak di bawah Shirath.
Imam Ghazali dan Izzuddin bin Abdissalam tidak setuju kalau Shirath itu dikatakan lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Menurut pandangan keduanya, Shirath itu bentuknya lebar, seperti penjelasan Hadis riwayat Imam al-Baihaqi dan lainnya, yang menerangkan bahwa malaikat dan besi-besi pengait (kalâlib) berada di tepi jembatan tersebut (Syi’bil Imân: 1/149). Dengan dalil ini, bisa disimpulkan bahwa Shrath itu bentuknya lebar, karena jika Shirat dikatakan setipis rambut, tidak masuk akal. Sedangkan Hadis yang menerangkan bahwa Shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang merupakan kiasan dari sulitnya melintasi jembatan itu.
Sebagai orang muslim, kita wajib meyakini bahwa Shirath benar-benar ada dan kita semua akan melintasinya kelak di hari pembalasan. Berdasarkan al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ (konsensus) ulama. Hanya saja ulama berbeda pendapat mengenai yang dimaksud “Shirath”. Mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah mengartikan Shirath dengan arti denotatif (hakikat). Yakni jembatan yang dibentangkan antara Mauqif dan Surga, yang tepat berada di atas Neraka Jahanam. Berbeda dengan yang dikemukakan Muktazilah, yang lebih cendererung mengartikannya secara konotatif (majas). Artinya, Shirath itu bukanlah jembatan, melainkan jalan yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, atau jalan yang bisa mengantarkan seseorang ke neraka.
Pendapat kedua diusung oleh Abdul Jabbar al-Muktazili beserta pengikutnya. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa jika Shirath diartikan jembatan yang membentang di atas neraka, maka sangat tidak masuk akal, karena tidak akan ada seseorang yang mampu melintasinya. Kalaupun masuk akal, ini tentu cukup menyiksa kepada orang mukmin. Semestinya tidak ada siksaan di hari pembalasan untuk orang-orang mukmin. Ada juga sebagian dari Muktazilah yang mengartikannya sebagai bukti yang nyata, atau perbuatan buruk. Namun pendapat-pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena sudah ada nahs yang sharîh (jelas), yang menerangkan bahwa Shirath adalah jembatan.
Panjang Shirath sekitar tiga ribu atau lima belas ribu tahun perjalanan normal. Ibnu Arabi berkata, “Shirath mempunyai tujuh jembatan lengkung (qantârah). Jarak antara satu qantârah dengan yang lain sekitar tiga ribu tahun; seribu tahun untuk menaikinya, seribu tahun untuk lewat di atasnya, dan seribu tahun turun. Pada saat memasuki qantârah pertama seorang hamba akan ditanyakan perihal imannya. Jika ia mampu menjawab dengan baik, maka ia boleh meneruskan perjalanannya hingga ke qantârah kedua, dan selanjutnya. Dan pada qantârah kedua ia akan ditanyakan tentang salat yang dilakukannya setiap hari. Jika dia mampu menjawabnya dengan tepat, maka ia boleh melanjutkan perjalanannya menuju qantârah ketiga.
Pada saat berada di qantârah ketiga, hamba akan ditanyakan mengenai zakat. Jika ia berhasil menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan tepat, maka ia akan melanjutkan pada qantârah keempat. Kemudian ia akan ditanyakan seputar ibadah puasa yang ia kerjakan. Pada qantârah kelima, ia akan ditanyakan mengenai haji dan umrahnya. Pada qantârah keenam, ia akan di tanyakan mengenai thahârah (sesuci) nya. Kemudian pada qantârah ketujuh, ia akan di tanyakan prihal kezaliman yang pernah ia kerjakan. Bila ia berhasil melintasinya, maka ia bisa masuk Surga. Namun apabila ia tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada setiap qantârah dengan baik, maka ia akan ditahan dulu selama seribu tahun perjalanannya, hingga Allah SWTmemutuskannya nasibnya.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang , disusul kali pertama akan melintasi Shirath adalah Nabi Muhammad dan ummatnya, kemudian Nabi Musa kemudian ummat-umatnya, kemudian Nabi Isa dan ummatnya, dan seterusnya. Dan yang terakhir adalah Nabi Nuh Musa bersama kaumnya. Sedangkan yang akan melintasi Shirath kelak di akhirat adalah semua manusia, mulai dari yang hidup di zaman dahulu sampai yang hidup di akhir zaman, termasuk orang-orang kafir.
Akan tetapi Ibnu Rajab al-Hanbali dan didukung beberapa ulama lain berpendapat, bahwa orang kafir dan orang musyrik tidak akan melintasinya. Sebab mereka sudah digiring terlebih dahulu ke Neraka bersama tuhan-tuhan mereka setelah hari Hasyr, sebelum sampai di Shirath, sebagaimana tercantum dalam ayat al-Qur’an yang artinya, “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka”(QS ash-Shâffât [37]: 22-23).
Orang-orang menyebrangi Shirath dengan bermacam cara. Ada yang menyebrang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang seperti hembusan angin, ada seperti terbangnya burung, ada yang sepeti larinya kuda, ada yang berlari biasa, ada yang seperti berjalan kaki, ada merangkak. Semua itu tergantung amalnya saat di dunia. Bila amal seseorang itu baik, maka akan melintasinya dengan lebih cepat. Demikian sebaliknya. Karena itu, para ulama menganjurkan kita agar istikamah menjalani ‘Shirath’ yang ada di dunia (agama), agar kelak kita bisa selamat saat melintasi Shirath di akhirat. Wallahu 'A'lam.
Refrensi: Tanwîrul-Qulûb, Fathul-‘Allâm, Bashâ’ir wa Basyâ’ir, Al-Qiyâmatul-Kubrâ, Fatâwâ al-Azhâr, Syarah Jawâhirut-Tauhîd
Posting Komentar