Islam telah mengatur hak-hak anak dalam sekumpulan hukum yang mengatur kewajiban kedua orang tuanya, masyarakat di sekitarnya, dan negara. Dengan demikian hak anak bukanlah hasil kesepakatan manusia yang lemah dan serba terbatas, namun hak anak merupakan kewajiban dari Allah kepada orang-orang yang harus memenuhinya. Hak-hak anak yang harus dijamin pemenuhannya dalam Islam diantaranya:
1. Hak untuk hidup
Ketika Islam mengharamkan aborsi dan pembunuhan anak serta mengatur penangguhan pelaksanaan hukuman terhadap wanita hamil, pada saat itulah kita temukan pengaturan adanya hak untuk hidup bagi anak dalam Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Isra’ ayat 31 yang artinya, "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar."
Aborsi hanya boleh dilakukan apabila kehamilan itu mengancam keselamatan nyawa ibu, sebab syara’ menetapkan bahwa keselamatan ibu harus diutamakan. Adapun alasan lain untuk aborsi tidak diperbolehkan sama sekali. Apabila ada yang melakukan aborsi, maka negara akan mengenakan sanksi berupa qishos atau diyat atas pembunuhan jiwa yang dilakukan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 178 yang artinya, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu qishosh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik…".
Demikian juga untuk menjaga keselamatan janin, Islam telah mensyari’atkan agar pelaksanaan hukuman (had) terhadap wanita hamil ditangguhkan sampai ia melahirkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Apabila ada seorang di antara wanita membunuh secara sengaja, ia tidak boleh dijatuhi hukuman mati sampai ia melahirkan anaknya, jika ia memang sedang hamil. Dan bilamana seorang wanita berzina, ia tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan anaknya jika ia sedang hamil dan sampai ia selesai merawatnya." (HR Ibnu Majah).
Demi keselamatan janin Islam juga telah memberi keringanan bagi wanita hamil dalam menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ia diperkenankan berbuka apabila ia tidak mampu atau apabila puasanya mengganggu pertumbuhan janin. Ia dapat mengganti puasanya di hari lain.
2. Hak mendapatkan nama yang baik
Abu Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasulullah, apakah hak anakkku dariku?" Nabi menjawab, "Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tampat yang baik." Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda, "Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti." (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Nama anak adalah penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan aqidah. Ngatinem sudah pasti orang Jawa, Simorangkir jelas dari keluarga Batak, Cecep tentu dari keluarga Sunda dan Alhabsyi menunjukkan keluarga Arab. Islam menganjurkan agar orangtua memberikan nama anak yang menunjukkan identitas Islam, suatu identitas yang melintasi batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan. Selain itu nama juga akan berpengaruh pada konsep diri seseorang. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi image (citra/gambaran) yang terkandung dalam namanya. Teori labelling (penamaan) menjelaskan kemungkinan seseorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Memang bisa jadi orang akan berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Seorang Fachry, apabila ia mengerti arti namanya, mungkin saja menjadi penjahat. Tetapi nama itu akan meresahkan batinnya, sehingga ia mengubah namanya atau ia mengubah perilakunya.
3. Hak penyusuan dan pengasuhan (hadlonah)
Anak berhak mendapat penyusuan dari ibunya sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS Al Baqoroh 233).
Dari ayat ini jelaslah bahwa anak berhak untuk mendapatkan penyususan selama dua tahun. Jika ibu tidak mampu memberi ASI maka Islam mensyari’atkan penyusuan oleh wanita lain. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Dan jika kamu menginginkan anak-anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu untuk memberikan pembayaran menurut yang patut."
Penelitian medis dan psikologis menyatakan bahwa masa dua tahun pertama sangat penting bagi pertumbuhan anak agar tumbuh sehat secara fisik dan psikis. Oleh karena itu penetapan kewajiban bagi ibu menyusui bayinya sampai dua tahun merupakan jaminan bagi anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Selama masa penyusuan anak mendapatkan dua hal yang sangat berarti bagi pertumbuhan fisik dan nalurinya. Yang pertama anak mendapatkan makanan berkualitas prima yang tiada bandingannya. ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan anak untuk pertumbuhannya, sekaligus mengandung antibodi yang membuat anak tahan terhadap serangan penyakit. Yang kedua anak mendapatkan dekapan kehangatan, kasih sayang dan ketentraman yang kelak akan mempengaruhi suasana kejiwaannya di masa mendatang. Perasaan mesra, hangat, dan penuh cinta kasih yang dialami anak ketika menyusu pada ibunya akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi kepada ibunya.
Islam juga mengatur masalah pengasuhan anak. Anak berhak mendapatkan pengasuhan yang baik sampai ia mampu mengurus dan menjaga diri sendiri. Pengasuhan merupakan jaminan keselamatan jiwa anak dari kehancuran. Seorang anak kecil tentunya bergantung kepada orang lain ketika ia harus makan, mandi , mengganti pakaiannya, dan lain-lain. Apabila pengasuhnya tidak bisa memberinya makan dengan baik, atau tidak bisa menjaga kebersihan dirinya, atau tidak bisa menjaga keselamatan fisiknya selama masa pengasuhan, tentu jiwanya terancam. Selain itu pengasuhan yang baik juga berpengaruh pada kondisi psikis anak. Pengasuhan yang memberinya rasa tenang dan aman akan menjamin kesehatan perkembangannya jiwanya .
Islam menetapkan bahwa persoalan pengasuhan merupakan kewajiban dan sekaligus hak orang-orang tertentu. Islam pun telah menetapkan bahwa orang yang lebih berhak terhadap pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling terampil (ahli) dalam pengasuhan.
Hadist yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW pernah ditemui seorang wanita, ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku dulu dikandung dalam perutku, susuku sebagai pemberinya minum dan pangkuanku menjadi buaiannya. Sementara ayahnya telah menceraikanku, tetapi ia hendak mengambilnya dariku." Kemudian Rasulullah bersabda, "Engkau lebih berhak kepadanya selama engkau belum menikah".
Islam menetapkan bahwa pihak wanita (ibu) lebih utama dalam pengasuhan ini. Atas dasar ini fuqoha menetapkan urutan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan adalah:
i. Ibu, nenek dari pihak ibu dan seterusnya jalur ke atas (jika masih hidup). Dalam hal ini didahulukan yang paling dekat hubungannya dengan anak.
i. Ayah, nenek dari ayah dan seterusnya jalur ke atas (jika masih hidup), kakek, ibunya kakek dan seterusnya jalur ke atas, kakeknya ayah dan para ibunya.
iii. Saudara perempuan, diutamakan yang seibu seayah, baru seayah, kemudian anak-anak mereka.
iv. Saudara laki-laki, diutamakan yang seibu seayah, baru seayah, kemudian anak-anak mereka.
v. Saudara perempuan ibu (kholah)
vi. Saudara perempuan ayah (‘ammah)
vii. Saudara laki-laki ayah (paman) yang seibu seayah, dan seayah saja.
viii. Saudara perempuan nenek dari ibu
ix. Saudara perempuan nenek dari ayah
x. Saudara perempuan kakek dari ayah
Apabila semua pihak dari kalangan ini tidak mampu, maka negara berkewajiban untuk memberikan pengasuhan anak ini ke pihak lainnya yang mampu dan dapat di percaya.
4. Hak mendapatkan kasih sayang
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menyangi keluarga, termasuk anak di dalamnya. Ini berarti Beliau SAW mengajarkan kepada kita untuk memenuhi hak anak terhadap kasih sayang. Sabda Rasulullah SAW, "Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang kepada keluarganya."
Rasulullah mengajarkan untuk mengungkapkan kasih sayang tidak hanya secara verbal, tetapi juga dengan perbuatan. Pada suatu hari Umar menemukan beliau SAW merangkak di atas tanah, sementara dua orang anak kecil berada di atas punggungnya. Sayyidina Umar berkata, "Hai anak, alangkah baiknya rupa tungganganmu itu." Yang ditunggangi menjawab, "Alangkah baiknya rupa para penunggangnya". Betapa indah susasana penuh kasih sayang antara Rasul saw dengan cucu-cucu beliau.
Seorang ahli (Dorothy Law Nolte) berujar, "Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan." Bila orang tua gagal mengungkapkan rasa sayang pada anak-anaknya, anak-anak tersebut tak akan mampu menyatakan sayangnya kepada orang lain.
5. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga
Ketika Islam memberikan kepemimpinan kepada seorang ayah di dalam keluarga, saat itulah anggota keluarga yang lain, termasuk anak di dalamnya, mendapatkan hak perlindungan dan nafkah dalam keluarga. Firman Allah dalam surah An-Nissa’ ayat 34 yang artinya, "Laki-laki adalah pemimpin (qowwam) bagi wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian dari harta mereka".
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 233 juga menyatakan yang artinya;"… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dangan cara yang ma’ruf…".
Kemudian firman Allah dalam surah Ath - Thalaq ayat 6 yang artinya, "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…".
Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu bertanggungjawab atas keselamatan anggota keluarganya, termasuk anaknya. Ia akan melindungi anaknya dari hal-hal yang membahayakan anaknya baik fisiknya maupun psikisnya. Demikian juga ia berkewajiban memberi nafkah berupa pangan, sandang, dan tempat tinggal kepada anaknya.
Apabila kepala keluarga tidak dapat mencukupi nafkah keluarganya, atau ayah telah meninggal dunia, maka wali dari anak (diantaranya paman dari ayah, saudara laki-laki, dan kakek) diberi kewajiban mencukupi nafkah keluarga tersebut. Apabila jalur kerabat tidak ada yang bisa mencukupi nafkah anak, maka negaralah yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak. Negara menyalurkan zakat atau sumber keuangan lain yang hak kepada keluarga yang tidak mampu. Bagaimanapun keadaannya, tidak pernah seorang anak harus menafkahi dirinya sendiri.
6. Hak pendidikan dalam keluarga
Orang tua diberi kewajiban memenuhi hak anak akan pendidikan sehingga ia menjadi seorang muslim yang berkualitas. Sebagaimana firman Allah dalam QS At-Tahrim ayat 6 yang artinya, "Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…".
Rasulullah juga mengajarkan betapa besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak. Sabdanya, "Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi."(HR Muslim).
Anak pertama kali mendapatkan hak pendidikannya di keluarga, sebelum ia mendapatkan pendidikan di sekolah. Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah, sehingga diperlukan pasangan yang seaqidah, dan sepemahaman dalam pendidikan anak. Jika tidak demikian tentunya sulit mencapai tujuan pendidikan anak dalam keluarga.
Anak pertama kali mendapatkan pengajaran nilai-nilai tauhid dari kedua orang tuanya, demikian juga mengenai ajaran-ajaran Islam yang lain. Anak mendapatkan pendidikan yang lebih banyak berupa contoh (teladan) dari kedua orang tuanya, di samping pendidikan dalam bentuk lisan, pembiasaan dan pemberian sanksi.
7. Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara
Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara kepada semua warga negara. Kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan kesehatan, dan keamanan.
Pelayanan massal ini merupakan pelaksanaan kewajiban negara terhadap penguasa kepada rakyatnya, seperti sabda Rasulullah SAW, "Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya."(HR Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar).
Apabila hak-hak anak seperti yang disebutkan di atas dipenuhi maka anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berkualitas, menjadi orang bertaqwa yang mampu mengendalikan hawa nafsunya sesuai perintah dan larangan Allah serta mampu mengelola kehidupan dunia dengan ilmu dan ketrampilannya. Kebutuhan fisiknya terpenuhi, kebutuhan gizinya terpenuhi, kebutuhan sandang dan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan terpenuhi, dan apabila ia sakit tidak ada hambatan baginya untuk mendapatkan pengobatan. Demikian pula ia tumbuh dalam suasana penuh kasih sayang, tentram dan aman. Dalam kondisi fisik dan psikis yang baik ia bisa melewati proses pendidikan sesuai fase perkembangannya di dalam keluarga, juga pendidikannya di sekolah secara optimal. Dengan demikian ia bisa menguasai dengan baik tsaqofah Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang diajarkan di sekolah untuk bekal kehidupannya kemudian hari.
Islam memiliki rincian mengenai hak-hak anak dan bagaimana hak-hak tersebut dapat dipenuhi. Menghadapi kondisi buruk anak pada saat ini, seharusnyalah kita sebagai orang yang beraqidahkan Islam, sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat, menyelesaikan masalah anak yang ada berdasarkan ajaran Islam. Pada saat kita menyadari begitu banyak hak anak yang tidak terpenuhi karena negara yang belum bisa memenuhinya, maka pada saat itulah seharusnya kita mulai berjuang untuk mengaplikasikan ajaran Islam mulai dari keluarga kita sendiri. Wallahu a’lam bish-showab.
Muhammad Riqi Fauzi
+ comments + 1 comments
Assalamu aly kum every body
wow this is a nice blog ,i like it
Posting Komentar