Niat puasa dilakukan setiap malam (biasanya setelah shalat Tarawih untuk meghindari lupa) pada puasa wajib seperti Ramadhan, tetapi lebih afdhalnya adalah ketika puasa hendak dilaksanakan (jika tidak khawatir lupa). Jika puasa sunnah maka afdhalnya niatnya pada malamnya, tetapi boleh niatnya sebelum tergelincir Matahari dan belum makan dan minum. Lafaz niat Puasa Ramadhan yang aqmal adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى.
Artinya: Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada tahun ini Lillahi Ta’ala.
Niat ini dibaca di dalam hati, sedangkan jika dilafadzkan dengan lisan dengan diiringi dengan hatinya (Hatinya membenarkan apa yang diucapkan lisannya) ini dibolehkan khususnya bagi mereka yang was-was.
Tujuan dari talafudz binniyah menurut kitab-kitab fiqh ahlusunnah adalah :
1. Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”).
2. Agar menjauhkan dari was-was.
3. Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya.
4. Untuk taklim (mengajari orang yang belum tahu cara niat puasa) dan tanbih (mengingatkan kembali akan niat bagi orang mukmin).
Ayat – ayat Al-qur’an yang menjadi dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa) adalah:
1. Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18).
Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.
2. Kepada Allah sajalah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).
Maksudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa, dan sebagainya).
Hadits-Hadist yang menjadi dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa) adalah:
1. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin RAnhu. Beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah SAW Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aku Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah SAW Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah SAW Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.
2. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas RA Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar rasulullah SAW Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”(Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah SAW Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah. Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usholli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
3. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar RA Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq, ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih Bukhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135).
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.
4. Diriwayatkan dari Jabir RA, beliau berkata :
“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah SAW, maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.
Pendapat Imam-Imam ahlussunnah wal jamaah mengenai melafadzkan niat adalah:
Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :
“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa sunnat melafadzkan niat itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.
Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas RA Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar rasulullah SAW Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.
Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar RA Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”.
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.”
Rujukan :
- Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafi'iyyah terhadap tuduhan bid’ah, Mutiara Ilmu Surabaya.
- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/214
- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/767
- Imam ramli, KitabNihayatul Muhtaj, Jilid I/437
- Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12
- Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302
- Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary, Jilid I/189
- Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid VIII/216
- Syarah Safinatunnaja
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى.
Artinya: Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada tahun ini Lillahi Ta’ala.
Niat ini dibaca di dalam hati, sedangkan jika dilafadzkan dengan lisan dengan diiringi dengan hatinya (Hatinya membenarkan apa yang diucapkan lisannya) ini dibolehkan khususnya bagi mereka yang was-was.
Tujuan dari talafudz binniyah menurut kitab-kitab fiqh ahlusunnah adalah :
1. Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”).
2. Agar menjauhkan dari was-was.
3. Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya.
4. Untuk taklim (mengajari orang yang belum tahu cara niat puasa) dan tanbih (mengingatkan kembali akan niat bagi orang mukmin).
Ayat – ayat Al-qur’an yang menjadi dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa) adalah:
1. Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18).
Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.
2. Kepada Allah sajalah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).
Maksudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa, dan sebagainya).
Hadits-Hadist yang menjadi dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa) adalah:
1. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin RAnhu. Beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah SAW Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aku Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah SAW Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah SAW Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.
2. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas RA Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar rasulullah SAW Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”(Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah SAW Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah. Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usholli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
3. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar RA Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq, ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih Bukhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135).
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.
4. Diriwayatkan dari Jabir RA, beliau berkata :
“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah SAW, maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.
Pendapat Imam-Imam ahlussunnah wal jamaah mengenai melafadzkan niat adalah:
Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :
“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa sunnat melafadzkan niat itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.
Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas RA Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar rasulullah SAW Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.
Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar RA Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”.
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.”
Rujukan :
- Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafi'iyyah terhadap tuduhan bid’ah, Mutiara Ilmu Surabaya.
- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/214
- DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/767
- Imam ramli, KitabNihayatul Muhtaj, Jilid I/437
- Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12
- Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302
- Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary, Jilid I/189
- Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid VIII/216
- Syarah Safinatunnaja
+ comments + 3 comments
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/
Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..
Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA pelafalan niat...12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah...tanggapan thd. pendapat yang mensunnahkan dan mewajibkan...DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg. penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf ulama...
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/
Berikut petikannya...
"Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim, membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya."
Terimakasih ibu Umi Kaltsum atas tambahannya, mohon maaf admin baru baca... heehehe
Posting Komentar