Bulan Muharram 1433 H telah berlalu, kini saatnya kita memasuki bulan Shafar. Bulan Shafar adalah salah satu bulan Allah yang mulia, bukan bulan sial sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita juga mengetahui bahwa Islam adalah agama yang selalu menaruh harapan baik terhadap kehidupan.
Maka Islam mengajari kita untuk selalu bersikap optimistis dan menaruh harapan yang baik terhadap kehidupan dan segala yang melingkupinya. Sebaliknya, ajaran Islam melarang kita meyakini sangkaan-sangkaan salah yang menyangkut kemalangan dalam kehidupan, sebagaimana keyakinan orang-orang Jahiliyah.
Memang, menurut beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan sebagian ulama, di bulan ini Allah SWT menurunkan berbagai Bala' dan cobaan serta musibah di bumi. Di antara keterangan-keterangan ulama berkaitan dengan ini adalah bahwa di hari Rabu terakhir bulan Shafar turun Bala' yang sangat besar. Namun hal ini tidak berarti bulan Shafar adalah bulan Bala'. Secara keseluruhan, bulan Shafar sama saja dengan bulan-bulan yang lain. Jadi keterangan itu tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa semua bulan dan semua hari itu adalah baik. Berkaitan dengan itu ada beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami.
Pertama, musibah-musibah tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan qadha dan qadar Allah SWT. Bukan karena sesuatu yang lain dari makhluk-makhluk Allah SWT, melainkan semua itu sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Di dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 22 disebutkan, yang artinya, "Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sen¬diri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Al-Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya."
Kedua, tidak berarti bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Karena, pada setiap bulan, termasuk bulan Shafar, terdapat atau terjadi hal-hal yang baik (menyenangkan) dan juga hal-hal yang buruk atau tidak menyenangkan. Jadi, keterangan yang menyebutkan bahwa pada bulan Shafar turun berbagai musibah bukan berarti bahwa bulan itu adalah bulan sial. Karena itu, untuk menghindari sikap pesimistis yang demikian, para ulama menyebut bulan Shafar dengan Shafar Al-Khayr (bulan Shafar yang baik).
Allah SWT melarang kita untuk menganggap hari atau bulan tertentu sebagai bulan sial atau membawa kesedihan atau yang lain. Semuabulan adalah sama, yaitu bulan-bulan Allah SWT. Setiap bulan yang di situ seorang mukmin mengerjakan kebaikan dan beribadah, bulan itu adalah bulan yang membawa berkah baginya. Setiap waktu yang dibuat seseorang untuk mengerjakan maksiat, waktu tersebut adalah waktu yang membawa kesialan dan dosa.
Jadi hakikat kesialan adalah maksiat kepada Allah SWT. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud RA dikatakan, "Jika kesialan terdapat pada sesuatu, ia ada di lidah." Karena, lidah adalah salah satu indra manusia yang sering digunakan untuk bermaksiat. 'Adiy bin Hatim juga berkata, "Beruntung dan sialnya se¬suatu itu tergantung pada lidahnya."
Dalam sebuah hadits dari Ali RA dikatakan, "Bersegeralah untuk bersedekah. Sesungguhnya Bala' tidak akan melewatinya." (HR Ath-Thabarani). Dalam hadits lain dikatakan, "Sesungguhnya pada tiap-tiap hari terdapat musibah, maka tolaklah musibah itu dengan sedekah."
Sebagian orang menganggap bahwa bulan Shafar adalah bulan pembawa sial, sehingga menanggalkan bepergian di bulan ini. Padahal hal tersebut adalah perbuatan yang termasuk syirik, yang dilarang oleh syari'at. Selain perbuatan tersebut dilarang di bulan Shafar, juga dilarang di bulan-bulan atau hari-hari lain, seperti Syawwal atau hari Rabu. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Barang siapa menanggalkan suatu perjalanan karena pesimistis (bekeyakinan akan sial), ia telah melakukan perbuatan syirik."
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak ada penularan (penyakit), tidak ada llai,yarah, tidak ada hamah, dan tidak ada Shafar."
Lalu seorang dusun bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan unta yang sehat yang kemudian dicampuri unta yang berkudis, sehingga membuatnya berkudis juga?"
Maka Rasulullah SAW berkata, "Lalu siapa yang menulari yang pertama?"
Thiyarah adalah mengambil tanda-tanda kemalangan (kesialan) dengan menggunakan nama-nama burung, warnanya, dan arah perginya, meskipun tidak dibuat lari (terbang). Sedang hamah adalah burung hantu. Orang¬orang Jahiliyah meyakini bahwa, bila burung hantu mengitari rumah salah seorang di antara rumah mereka, orang tersebut atau salah seorang anggota keluarga yang menghuni rumah itu akan mati. Maka maksud "tidak ada hamah" adalah tidak ada tanda-tanda kemalangan (kesialan) dengan burung hantu.
Adapun "tidak ada Shafar" artinya tidak ada Shafar yang diakhirkan dari waktunya. Dahulu orang-orang Arab mengakhirkan Muharram ke Shafar. Maksudnya, mereka meyakini adanya kemalangan dengan masuknya bulan Shafar, karena mereka membayangkan bahwa di da¬lam bulan itu terdapat banyak bencana. Maka pengertian "tidak ada Shafar" adalah tidak ada kesialan dengan masuknya bulan tersebut.
Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Al Aydrus
Posting Komentar