Beberapa tahun lalu, panggung dunia pernah digemparkan oleh perilaku seorang ibu berkewarganegaraan Jerman yang membunuh ketiga orang anaknya dengan teramat sadis. Mengenai modus operandinya, sungguh sangat bijak untuk tidak dikemukakan di sini. Namun akibat tindakannya itu, beberapa kantor berita merilis nya, dan kemudian menjadi headline media massa di seluruh dunia.
Atas dasar apa hingga sang ibu demikian tega membunuh anak kandungnya sendiri? Setelah dilakukan menyelidikaan, ternyata penyebabnya adalah depresi.
Karena kecintaannya yang berlebihan kepada anak-anaknya, dia khawatir akan mewariskan kepedihan dan tekanan hidup yang saat ini dia rasakan kepada mereka. Maka jalan yang dipilih untuk menyelamatkan anak-anaknya dari kepedihan tersebut adalah dengan cara membunuh mereka…kemudian dia sendiri bunuh diri.
Meskipun jarak kasus tersebut dengan negeri ini terpaut hingga ribuan kilometer, namun tanpa kita sangka-sangka, peristiwa serupa itu menghampiri kita. Seorang ibu di Bandung melakukan hal yang nyaris sama dari sisi jumlah korban dan alasan yang dikemukakannya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun. Banyak orang tersentak.
Ayah membunuh istri, anak membunuh bapak, ibu menyiksa anak dll seolah menjadi berita saban hari. Ada apa dengan kehidupan kita kini? Ada apa dengan lingkungan kita, keluarga, masyarakat dan zaman kini?
Dalam satu kesempatan Umar Ibnu Khaththab berkata: al insanu ibn al zaman, manusia adalah anak zaman. Bahwa perilaku-perilaku manusia banyak dipengahuhi oleh situasi dan kondisi, karakteristik dan tidak tanduk mereka diwarnai oleh zaman di mana dia berada.
Kita mengenal istilah zamannya si Fulan atau Fulanah; zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, zaman(era) Roformasi, dan seterusnya. Zaman terkait erat dengan waktu dan karya-karya manusianya. Setiap manusia dengan zamannya, menghasilkan karya yang berbada pula. Begitu seterusnya.
Dalam salah satu haditsnya baginda Nabi SAW bersabda bahwa Allah berfirman: ”Manusia menyakiti Aku: dia mencaci maki masa, padahal aku adalah pemilik dan pengatur masa, Akulah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (Riwayat Bukhari-Muslim)
Dari semua kurun yang ada, terdapat komunitas manusia terbaik dari sisi aqidah, akhlak, toleransi, kebersamaan, yakni di zamannya baginda Rasulullah SAW.
Beliau bersabda, ”Sebaik-baik ummatku adalah pada zamanku ini, kemudian sesudahnya dan yang sesudahnya. Kemudian sesudah mereka muncul suatu kaum yang member kesaksian tetapi tidak bisa dipercaya kesaksiannya. Mereka berkhianat dan tidak dapat diamanati. Mereka Bernadzar (berjanji) tetapi tidak menepatinya dan mereka tampak gemuk-gemuk(hidup makmur).” (Riwayat Tirmidzi)
Kita merasakan, seiring dengan semakin meningkatnya kesibukan, tekanan kepada jiwa (depresi) kita semakin besar pula. Semakin maju peradaban, semakin membuat punggung-punggung manusia yang rapuh, menjadi semakin berat. Maka tidak mengherankan, pada akhirnya banyak orang yang berjalan gontai kelelahan. Tidak sedikit pula manusia yang terjatuh-jatuh. Tidak hanya di negeri kita, tapi di berbagai belahan dunia, mengalami hal yang sama. Kalau sekadar terjatuh lalu bangun lagi, itu masih lumrah, akan tetapi bila harus mengakhiri hidup dengan jalan bunuh diri, sungguh itu merupakan pilihan yang naif dan menghinakan diri, Astaghfirullah hal adhiim. Kehidupan adalah rangkain menuju kedewasaan dan kematangan, baik dalam segi moral maupun keimanan. Oleh karenanya timbunan ujian suka dan duka adalah dua hal yang saling beriringan.
Angka yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) menunjukkan bahwa masalah ini sangat riskan. Pada tahun 1972 orang-orang yang terkena penyakit depresi ini hanya sekitar 3%. Angka itu naik menjadi5% pada tahun 1978. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 1 dari 4 orang Amerika menderita penyakit ini. Sementara dalam konferensi Doncangan Mental(Mental Disorder) yang diadakan di Chicago pada tahun 1981 menyebutkan bahwa ada 100 juta orang penderita penyakit depresi ini di dunia. Kebanyakan mereka berada di negara-negara maju. Statistik yang lain menyebutkan angka 200 juta.Itu angka statistik lebih 20 yang lalu. Tentu saat ini sudah mengalami peningkatan signifikan.
Bila tidak diiringi dengan konsumsi nutrisi jiwa yang memadai, maka hal ini akan berakibat membahayakan, bahkan bisa fatal sehingga berakibat seperti kedua kasus di atas.
Namun yang perlu ditekankan, bahwa tidak ada kesulitan yang mengabadi, sebagaimana tidak ada pesta yang tanpa akhir. Semua ada batas dan kurunnya. Demikian pula tidak ada penyakit yang tanpa obatnya. Yang sedang dipertaruhkan adalah kesiapan kita dalam bertahan (bersabar) dan kegigihan untuk berikhtiar mencari solusi.
Bagi orang yang beriman, sandaran dari semua keadaan adalah keyakiannya kepada Allah yang kuat. Dan bermohon agar tak sekejap pun dibiarkan ‘berjalan sendiri’, tanpa bimbingan-Nya.
Umar bin Khaththab ra., mengatakan,” Ketika pagi tiba, saya tidak punya terget apapun kecuali saya akan menikmati semua qadha Ilahi.” Artinya, Umar sangat rileks menghadapi qadha Allah baik yang manis maupun yang pahit.
Seorang yang shaleh berkata,”Saya tidak peduli kendaraan mana yang akan saya naiki. Jika harus mengendarai kefakiran maka itu artinya harus bersabar dan jika harus mengendarai kekayaan maka itu artinya harus bersyukur.”
Seorang penyair, Ali bin Maqlah, berkata dalam sebuah syairnya:
Jika hati telah diliputi rasa putus asa
Dan hati yang lapang telah menjadi sesak
Kala ujian dan cobaan telah menjalar,
Dan di dalam hati telah berdiam semua bencana
Engkau tahu harus ke mana mengusir kesulitan
Dan tidak bermanfaat usaha orang-orang pintar
Saat itulah datang bantuan untuk putus asamu,
Dari Rabb Yang Maha Pemberi dan Maha Dekat
Semua peristiwa walaupun telah memuncak,
Akan bersambung dan akan ada jalan keluar dalam waktu dekat.
Allah Yang Maha Memahami, menjelaskan tentang apa-apa yang akan dihadapi manusia dan hendaknya berlari kemana manusia mencari solusi.
Tidak ada pilihan kedua, hanya ada satu jalan: kembalilah kepada Allah SWT. Allah itu esa, satu. Tidak dua dan bukan tiga. Karenanya solusinya pun hanya ada satu jalan: kembalikan kepada Allah. Ini sama sekali bukan penyederhanaan masalah, tapi demikian itulah yang Allah perintahkan.
Dia menegaskan barangsiapa yang berpaling dari-Nya—para mufassir menyebutnya dari al-Qur’an atau dari ajaran Al Islam--(dalam hal apapun juga) maka bukan kehidupan bahagia yang akan dia peroleh, tapi kesempitan demi kesempitan justru yang akan didapatkan. Dengan sangat indah Allah SWT menerangkan dalam firman-Nya dalam surat Alam Nasyrah ayat 1-8:
”Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan namamu karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan maka apabila telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
Semoga kita dapat memperoleh aneka kebaikan di antara hamparan kesulitan maupun kelapangan hidup.
Ahmad atw Hidayatullah
Posting Komentar