“Jangan pernah mengira bahwa engkaulah yang memperbaiki dirimu. Taubatmu
adalah rahmat dari Allah. Demikian pula kemampuanmu untuk menindaklanjuti
taubat itu.”
Pernah pada suatu ketika, ada seorang penjahat kejam yang telah membunuh
sembilan puluh sembilan orang. Suatu hari, dia mendatangi seorang guru agama
dan mengatakan bahwa dia ingin mengubah hidupnya, sebagai taubat atas segala
kesalahannya. Guru itu menjawab bahwa ia sudah tidak mungkin lagi diampuni
karena dosanya sudah ‘keterlaluan’. Dengan sangat marah penjahat itu
mengatakan, kalau memang dosanya tidak bisa diampuni, ia sekalian saja membunuh
guru itu. Dan ditebasnyalah leher guru agama itu.
Tidak lama kemudian, penjahat itu berpapasan dengan seorang bijak, seorang
ulama yang telah benar-benar menyerap dan mengamalkan segala yang diajarkannya.
Kepada orang bijak itu dia bertanya, apakah ia masih bisa diampuni walaupun
telah membunuh seratus orang tak bersalah. Sang ulama bijak ini menjawab bahwa
Allah pasti mengampuni orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh ikhlas. Ia
juga menambahkan sebuah nasihat kepada si penjahat, bahwa ia harus pergi dari
kampungnya yang penuh dengan perampok dan penjahat. Ia harus pindah ke sebuah
kota kecil tak jauh dari sana, yang di sana merupakan tempat tinggal banyak
orang jujur dan lurus. Teman yang baik membawa kita pada akhlak yang baik,
sedangkan teman yang buruk akan membawa kita pada dosa.
Penjahat itu pun pulang, membereskan barang-barangnya, lalu berangkatlah ia
ke kota tempat tinggal orang-orang lurus itu. Hanya saja, baru beberapa langkah
ia meninggalkan kota, saat kematiannya pun tiba, sehingga malaikat maut pun
mencabut nafs-nya. Seiring dengan kejatuhan jasadnya ke tanah, datanglah
malaikat-malaikat penjaga neraka untuk mengambil nafs-nya. Pada saat yang sama,
malaikat-malaikat penjaga surga pun tiba, juga hendak mengambil nafs-nya. Para
malaikat neraka berpendapat bahwa bandit itu telah membunuh seratus orang,
sehingga nafs-nya harus dibawa ke neraka. Tetapi kelompok malaikat penjaga
surga berpendapat bahwa bandit itu telah bertaubat dengan ikhlas, bahkan ia
telah mengamalkan taubatnya menjadi perbuatan, dengan meninggalkan kampungnya
menuju kota yang warganya jujur dan lurus.
Akhirnya, diutuslah malaikat Jibril a.s. untuk menghakimi perkara itu.
Jibril a.s. bertanya kepada Allah tentang cara menyelesaikan persoalan ini,
karena kedua belah pihak punya alasan yang kuat. Allah pun menurunkan sebuah
alat ukur dari langit, dan memerintahkannya untuk memberi keputusan berdasarkan
jarak jasad si penjahat ke kedua kota itu. Jika ia mati dalam kedaan lebih
dekat kepada orang-orang baik, maka nafs-nya akan naik ke surga. Namun jika ia
lebih dekat kepada orang-orang jahat, maka nafs-nya harus masuk neraka.
Para malaikat setuju untuk taat pada kehendak Allah, walaupun para malaikat
penjaga surga merasa sedih karena harus kehilangan jiwa seorang manusia yang
ingin bertaubat. Mayat penjahat itu hanya berjarak beberapa langkah dari desa
para bandit. Jibril a.s. pun menggelar pengukurnya, dan menemukan bahwa
mayatnya hanya berjarak dua langkah dari gerbang kampungnya. Ketika Jibril a.s.
mengangkat alat ukur dan hendak menggelarnya ke arah kota tempat orang-orang
baik, mendadak—karena kemahapengampunan Allah—dinding-dinding luar kota itu
berdatangan mendekati mayat si penjahat, sehingga hanya berjarak kurang dari
selangkah. Maka diserahkanlah nafs si penjahat yang bertaubat ke pemeliharaan
para malaikat penjaga surga.
Sama dengan kita. Jika kau benar-benar ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan
burukmu, gantilah teman-temanmu. Yang paling penting, mohonlah kepada Allah
untuk mengubah dirimu. Jangan pernah mengira bahwa engkaulah yang memperbaiki
dirimu. Taubatmu adalah rahmat dari Allah. Demikian pula kemampuanmu untuk
menindaklanjuti taubat itu.(1) Dan, jika engkau ingin menjadi orang baik,
carilah orang-orang yang baik. Jika engkau ingin mencintai Allah, tetaplah
bersama orang-orang yang mencintai-Nya.
(1) “Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia akan
mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mampu menempuh jalan itu,
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Q. S. Al-Insaan [76]: 29–30). Lihat juga, “Bagi siapa di antara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus, kamu tidak akan dapat menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan Semesta Alam.” (Q. S.
At-Takwiir [81]: 28 –29). –Ed.
Dikutip dari buku Cinta
Bagai Anggur karya Syaikh Muzaffir Ozak
Posting Komentar