Seorang Imam Sholat, ketika di akhir shalat ingat kalau dirinya punya hadast atau najis. Apa yang harus dilakukannya?
Jika najis yang dibawa oleh imam itu tampak jelas sekira makmum
memperhatikannya, najis tersebut dapat terlihat, maka imam wajib memberitahu
dan makmum wajib mengulang shalat, tetapi menurut pendapat Imam Nawawi tidak
wajib i’adah (mengulangi sholat).
Jika najis tersebut samar, maka :
1. Bila makmumnya bukan masbuq, imam tidak wajib memberitahu dan makmum
tersebut tidak pula wajib i’adah, baik diberitahu ataupun tidak, dan;
2. Bila masbuq (makmum yang tidak cukup waktu untuk membaca Fatihah di saat
berdirinya imam), imam wajib memberitahu dan si masbuq manakala belum salam
atau sesudah salam tetapi masih dalam tempo yang pendek, maka ia harus menambah
satu rekaat dan sujud sahwi dan manakala dalam tempo yang lama, maka ia harus
i’adah.
Dalam semua kasus tersebut sudah barang tentu imam wajib i’adah.
(فَائِدَةٌ) يَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ إِذَا كَانَتِ النَّجَاسَةُ ظَاهِرَةً
إِخْبَارُ الْمَأْمُوْمِ بِذَلِكَ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ:
لَوْ رَأَى عَلَى ثَوْبِ مُصَلٍّ نَجَاسَةً وَجَبَ إِخْبَارُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
آثِمًا اهاع ش عَلَى م ر [بجيرمي على المنهج
1/310]
“(Faedah). Wajib bagi imam yang membawa najis tampak jelas, memberitahu
makmum perihal tersebut agar mengu-lang shalatnya, berdasarkan perkataan ulama,
andaikan seseorang melihat najis pada baju seseorang yang sedang shalat maka ia
wajib memberitahunya meskipun tidak ber-dosa”. (Bujairami ‘ala al-Manhaj
1/310).
وَصَحَّحَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ عَدَمَ وُجُوْبِ اْلإِعَادَةِ
مُطْلَقًا. (قَوْلُهُ مُطْلَقًا) سَوَاءٌ كَانَ الْخَبَثُ الَّذِيْ تَبَيَّنَ فِي
اْلإِمَامِ ظَاهِرًا أَوْ خَفِيًّا
[إعانة الطالبين 2/46]
“Al-Nawawi di dalam kitab Al-Tahqiq membenarkan bahwa makmum tidak wajib
mengulang shalat secara mutlak. Kata ‘mutlak‘ baik najis yang dibawa imam itu
tampak jelas ataupun samar “. (I’anah al-Thalibin II/46).
وَلَوْ تَذَكَّرَ اْلإِمَامُ بَعْدَ صَلاَتِهِ أَنَّهُ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ
ذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ وَعَلِمَ أَنَّ بَعْضَ الْمَسْبُوْقِيْنَ رَكَعَ مَعَهُ
قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الْفَاتِحَةَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَهُ بِحَالِهِ
لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ إِنْ كَانَ قَدْ سَلَّمَ وَطَالَ الْفَصْلُ وَإِلاَّ
يَأْتِيْ بِرَكْعَةٍ فَقَطْ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ [تنوير القلوب
156 –157]
“Andaikata usai shalat imam ingat bahwa dirinya sedang hadats atau membawa najis
yang samar dan ia mengetahui bahwa sebagian makmum masbuq mengikuti rukuknya
sebelum sempat menyempurnakan fatihah, maka ia wajib memberitahu perihal
keadaan dirinya agar makmum tersebut mengulang shalat bila sudah salam dan
dalam tempo yang lama. Bila belum/barusan salam maka menambah satu rekaat dan
sujud sahwi.” (Tanwir al-Qulub 156-157).
لاَ إِنْ بَانَ ذَا حَدَثٍ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ وَذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ
فِيْ ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ فَلاَ تَجِبُ اْلإِعَادَةُ عَلَى الْمُقْتَدِيْ
لانْتِفَاءِ التَّقْصِيْرِ
مِنْهُ فِىْ ذَالِكَ [فتح الوهاب
1/63]
“Tidak wajib i’adah jika imamnya sedang berhadats sekalipun hadats besar dan
membawa najis yang samar di pakaian atau badan, maka tidak wajib mengulang
shalat bagi makmum karena tidak adanya kesalahan dari makmum dalam hal
tersebut.” (Fath al-Wahhab I/63).
وَلَوْ صَلَّى بِنَجْسٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ لَمْ يَعْلَمْهُ أَوْ عَلِمَهُ
ثُمَّ نَسِيَ فَصَلَّى ثُمَّ تَذَكَّرَ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ فِي الْوَقْتِ أَوْ
بَعْدَهُ لِتَفْرِيْطِهِ بِتَرْكِ التَّطْهِيْرِ وَتَجِبُ إِعَادَةُ كُلِّ صَلاَةٍ
تَيَقَّنَ فِعْلَهَا مَعَ النَّجْسِ، بِخِلاَفِ مَا إِذَا احْتَمَلَ حُدُوْثُهُ
بَعْدَهَا فَلاَ تَجِبُ إِعَادَتُهَا، لَكِنْ تُسَنُّ كَمَا قَالَهُ فِي
الْمَجْمُوْعِ [فتح الوهاب 1/50].
“Andaikan seseorang shalat tidak tahu bahwa dirinya mem-bawa najis yang
tidak dimakfu, atau sebelumnya ia tahu kemudian lupa lalu shalat, kemudian
ingat kembali maka wajib mengulang shalat ketika ingat atau sesudahnya, karena
kesalahannya dengan meninggalkan bersuci. Begitu juga wajib mengulang tiap-tiap
shalat yang ia yakini mengerjakannya dalam keadaan najis, berbeda jika najis
tersebut dimungkinkan adanya setelah shalat maka tidak wajib mengulang, namun
disunatkan sebagaimana keterangan di Al-Majmu’.” (Fath al-Wahhab I/50).
http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/doc/207445645944918 oleh Ust. Masaji Antoro
Posting Komentar