Pada zamannya, ia menjadi pelopor
perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan
sehat. Ia tak segan-segan mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung
dan statemen yang tegas kepada para pedagang.
Pada saat beliau menjadi kepala
negara, law enforcement benar-benar ditegakkan kepada para pelaku bisnis
nakal. Beliau pula yang memperkenalkan asas “Facta Sur Servanda” yang
kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan perjanjian. Di tangan
para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan transaksi, yang
dibangun atas dasar saling setuju “Sesungguhnya transaksi jual-beli itu
(wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla)….” Terhadap tindakan
penimbunan barang, beliau dengan tegas menyatakan: “Tidaklah orang yang
menimbun barang (ihtikar) itu, kecuali pasti pembuat kesalahan (dosa)!!!”
Sebagai debitor, Nabi Muhammad tidak
pernah menunjukkan wanprestasi (default) kepada krediturnya. Ia kerap
membayar sebelum jatuh tempo seperti yang ditunjukkannya atas pinjaman 40
dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Bahkan kerap pengembalian yang diberikan
lebih besar nilainya dari pokok pinjaman, sebagai penghargaan kepada kreditur.
Suatu saat ia pernah meminjam seekor unta yang masih muda, kemudian menyuruh
Abu Rafi’ mengembalikannnya dengan seekor unta bagus yang umurnya tujuh tahun.
“Berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang paling utama adalah orang
yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik” (HR.Muslim).
Sebagaimana disebut di awal, bahwa
penduduk Makkah sendiri memanggilnya dengan sebutan Al-Shiddiq (jujur) dan
Al-Amin (terpercaya). Sebutan Al-Amin ini diberikan kepada beliau dalam
kapasitasnya sebagai pedagang. Tidak heran jika Khadijah pun menganggapnya
sebagai mitra yang dapat dipercaya dan menguntungkan, sehingga ia mengutusnya
dalam beberapa perjalanan dagang ke berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan
modalnya. Ini dilakukan kadang-kadang dengan kontrak biaya (upah), modal
perdagangan, dan kontrak bagi hasil.
Dalam dunia manajemen, kata benar
digunakan oleh Peter Drucker untuk merumuskan makna efisiensi dan efektivitas.
Efisiensi berarti melakukan sesuatu secara benar (do thing right), sedangkan
efektivitas adalah melakukan sesuatu yang benar (do the right thing).
Efisiensi ditekankan pada
penghematan dalam penggunaan input untuk menghasilkan suatu output tertentu.
Upaya ini diwujudkan melalui penerapan konsep dan teori manajemen yang tepat.
Sedangkan efektivitas ditekankan pada tingkat pencapaian atas tujuan yang
diwujudkan melalui penerapan leadership dan pemilihan strategi yang tepat.
Prinsip efisiensi dan efektivitas
ini digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu bisnis. Prinsip ini
mendorong para akademisi dan praktisi untuk mencari berbagai cara, teknik dan
metoda yang dapat mewujudkan tingkat efisiensi dan efektivitas yang
setinggi-tingginya. Semakin efisien dan efektif suatu perusahaan, maka semakin
kompetitif perusahaan tersebut. Dengan kata lain, agar sukses dalam
menjalankan binis maka sifat shiddiq dapat dijadikan sebagai modal dasar untk
menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Demikian sekelumit sisi kehidupan
Nabi Muhammad dalam dunia bisnis yang sarat dengan nilia-nilai
manajemen, Semoga para pebisnis modern, dapat meneladaninya sehingga mereka
bisa sukses dengan pancaran akhlak terpuji dalam bisnis .
Agustianto, Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah UI dan Universitas Islam Negeri Jakarta
Posting Komentar