Dunia, semuanya adalah hikmah, sedangkan amal
akhirat adalah Qudrat. Dunia ini dibangun di atas hikmah dan akhirat dibangun
di atas Qudrat. Karena itu jangan abaikan amal di
negeri hikmah, dan jangan menganggap enteng QudratNya di negeri Qudrat.
Beramallah di negeri hikmah dengan hikmahNya, dan jangan menyerahkan diri pada takdirNya.
Jangan jadikan takdir sebagai bentuk penyerahan
dirimu, dan anda beralasan dibalik takdir, lalu anda meninggalkan amaliyah.
Penyerahan atas nama takdir hanyalah perbuatan orang-orang malas, karena posisi
penyerahan diri pada takdir itu bukan pada soal-soal perintah dan larangan.
Orang beriman tidak tenteram dengan dunia ini dan
apa yang ada di dalamnya, bahkan tidak selera dengan bagian-bagian duniawinya.
Ia lebih senang jika hatinya menuju kepada Allah azza wa-Jalla. Ia menetap di
sana hingga diterimaNya. Ia, lari dari dunia, hingga ia meraih izin untuk masuk
kepadaNya. Rahasia batinnya pergi, lalu menuju hatinya, dan hatinya meraih
nafsunya yang tenang (muthmainnah) serta fisiknya yang patuh. Pada saat seperti
itu, tiba-tiba ia tidak tertambat pada keluarganya, seperti ada sela kehampaan
antara dirinya dengan mereka, tak peduli dengan kejahatan makhluk lain, seperti
ada halangan antara dirinya dengan mereka, hingga hanya dia sendiri dan
Tuhannya Azza wa-Jalla. Seakan-akan makhluk lain tidak diciptakan, dan
seakan hanya dia sendirilah yang diciptakan Allah Azza wa-Jalla. Allah Azza
wa-Jalla Sang pelaku dan dirinya satu-satunya obyek. Ia yang dicari dan
Allah Yang Mencari. Seakan Allah Azza wa-Jalla adalah akar dan dia cabang
ranting. Ia tidak melihat selain Dia, dan lainnya tidak melihatnya. Ia
terbungkus dari makhluk.
“Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkan
kembali…” (Abasa: 22).
Ia hadir untuk mereka demi kebajikan dan
memberikan petunjuk kebenaran kepada mereka, dan ia sabar jika disakiti mereka,
demi meraih ridho Allah Azza wa-Jalla. Para Sufi itu adalah penjaga hati dan
rahasia batin, yang senantiasa teguh bersama Allah azza wa-Jalla, bukan bersama
lainNya. Mereka beramal untukNya bukan untuk lainNya.
Tetapi hai munafik, anda tidak pernah meraih
informasi kebajikan mereka, tidak mencerap keimanan bahkan tidak meraih
kebahagiaan bersama Allah Azza wa-Jalla. Dalam waktu dekat anda mati, dan
menyesal setelah mati. Padahal anda telah mendapatkan wacana yang fasih dan
keelokan syurgawi, tetapi itu tidak memberi manfaat bagimu. Kefasihan itu buat
qalbu, bukan untuk wacana ucapan. Menangislah seribu kali atas dirimu dan yang
lain.
Hai orang yang hatinya mati! Wahai orang yang
menghindar dari kaum sufi. Wahai orang yang banyak mengatur dan terhijab dari
dirimu sendiri, dari makhluk dan dari Tuhanmu Azza wa-Jalla: “Oh Tuhanku,
sungguh aku terbungkam, maka bukakanlah ucapanku dariMu, hingga manusia meraih
manfaat dari ucapanku, memberikan kesempurnaan pada mereka di hadapanku. Jika
tidak, kembalikan diriku dalam kebungkaman.”
Wahai kaumku, aku mengajak kalian pada “kematian
merah” yaitu bentuk perlawanan terhadap hawa nafsu, watak naluri, syetan dan
dunia, serta keluar dari makhluk, dan meninggalkan selain Allah azza wa-Jalla
secara total. Dan berjuanglah kalian dalam situasi kondisi ini, jangan sampai
kalian putus harapan, karena Allah Azza wa-Jalla berfirman, “Setiap hari Dia dalam urusanNya.” (Ar-Rahman 29).
Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani (Majalah Cahaya Sufi)
Posting Komentar