Namun entah bagaimana perkataan “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH”
(Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam
melakukannya) muncul dalam kitab tafsir Ibnu Katsir pada saat mentafsirkan (QS
al Ahqaaf [46]:11 ) pula.
Berikut kutipan terjemahannya
******
Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan
ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena
bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita,
sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikanpun kecuali mereka telah
lebih dahulu melaksanakannya
******
Kalau kita kaji kutipan atau paragraf tersebut tidak ada kaitannya dengan
(QS al Ahqaaf [46]:11 ). Belum ada yang mengkaji kenapa paragraf tersebut bisa ada pada penafsiran
(QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Perkataan “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu
mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) muncul pula dalam
kitab tafsir Ibnu Katsir pada saat mentafsirkan firman Allah ta'ala
allaa taziru waaziratun wizra ukhraa
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain
wa-an laysa lil-insaani illaa maa sa'aa
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya
(QS An-Najm [53] ayat 38 dan 39)
Tampaknya Ibnu Katsir ~rahimahullah dengan perkataan “LAU KAANA KHOIRON
LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan
mendahului kita dalam melakukannya) khusus pada pendapat beliau bahwa para
Sahabat tidak pernah melakukan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“.
Jadi tidak ada kaitannya “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya
hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam
melakukannya) dengan QS An-Najm [53] ayat 38 dan 39.
Berikut kutipan kajian ulama tentang QS An-Najm [53] ayat 38 dan 39
bersumber dari http://salmanfiddin.wordpress.com/2010/09/18/sampaikah-kiriman-amal-dan-hadiah-bacaan-alquran-untuk-orang-mati/
****** awal kutipan ******
Firman Allah QS An-Najm [53] ayat 38 dan 39 terkait belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi Musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan
bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya
Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat
tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan
dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal
yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya.
Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya
dan menghadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya,
maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri.
Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain
didalam ikatan Islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya
kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik di dalam
kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan
iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari
kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia
sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian
itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum
mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat AlQur’an itu hanya menafikan “kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain”.
Allah Subhanahu wa ta'ala hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah
(orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun
usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika
dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau,
dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz
“lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
Pendapat yang lain,
Berkata pengarang tafsir Khazin : “Yang demikian itu adalah untuk kaum
Ibrahim dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam), maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha
orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi
Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi : “ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi
musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak
akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia
selain dari yang diusahakannya”.
Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam
menafsirkan ayat tersebut : “ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan)
hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah Subhanahu wa ta'ala: “Kami
hubungkan dengan mereka anak-anak mereka ”, maka dimasukanlah anak ke dalam
sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya ’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat
an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai
berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan
iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah
mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang
dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya,
berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.
Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada
seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli),
adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa
yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini
adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zhahir ayat
semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil
baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat
tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bisa dipakai sebagai dalil.
***** akhir kutipan *****
Ust. Zon Jonggol
Posting Komentar