Rembulan putih sendu memancarkan
ronanya, menepis kebisuan malam yang bisu. Bintang-gemintang bertaburan bak
tiara bertatahkan mutu manikam. Udara dingin kian mengusik menusuk sudut-sudut
tulang sumsum yang terdalam. Di kala jarum jam mulai menapaki sepertiga akhir
malam. Seirama tetesan embun yang menghujani persada bumi bertaut dengan
keheningan malam nan syahdu, menebarkan aroma surgawi, melewati celah-celah
puncak kubah dan menara mesjid yang menjulang. Sebagai anugerah dari sang
penguasa jagad raya. Menerima tamu agung yang bersimpuh di hadirat-Nya. Di
trotoar pertigaan alun-alun, di depan Mesjid Agung Bangil Pasuruan, tampak para
pengemis, gelandangan dan abang becak pulas dalam buaian impian mereka
masing-masing. Meskipun hanya beralaskan bumi, berselimutkan angin malam dan
beratapkan langit. Bahkan kepakan-kepakan sayap si kecil penghisap darahpun
tidak mengusik mereka dalam menikmati pengembaraan di dunia bawah sadar.
Tak lama berselang datang merayap
sebuah mobil mendekati mereka. Suaranya begitu rendah hingga hampir tak
terdengar. Seorang laki-laki keluar dari kotak besi itu, sambil menenteng
sebuah bungkusan. Satu persatu orang-orang yang terlelap itu disambanginya.
Kemudian dia menaruh sesuatu di sisi mereka masing-masing. Lalu pergi
meninggalkannya seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Hanya lampu-lampu
jalanan yang menyaksikan peristiwa itu bersama rumput, semak belukar dan
pepohonan perdu yang menghuni lapangan luas itu. Dan tentu saja Zat Yang Maha
Mengatur lebih mengetahui apa saja yang terjadi di muka bumi.
Sementara itu, dalam keremangan
cahaya lampu mobil, tampak seseorang dengan busana putih rapi duduk sendiri di
dalam mobil. Sorban dengan warna senada melilit bertahta di kepalanya. Wajahnya
bersinar memancarkan kewibawaan dari seseorang yang berilmu. Rupanya orang
inilah yang menyuruh laki-laki tersebut untuk membagikan isi bungkusan yang
dibawanya kepada penghuni malam.
Ilustrasi di atas merupakan satu di
antara amaliyah yang kerap dilakukan Abuya Habib Hasan (panggilan untuk al
habib Hasan bin Ahmad Baharun) yaitu memberikan shadaqah sir kepada kaum
dhu'afa. Beliau digambarkan sebagai orang yang duduk di mobil. Sedangkan orang
yang bertugas membagikan, tidak lain adalah sopirnya sendiri, yaitu Muh. Rodhi
(Pukadi). Untuk keperluan ini, rata-rata beliau mengeluarkan uang sekitar satu
juta rupiah sampai satu setengah juta setiap malamnya.
Tahulah kita betapa besar perhatian
beliau terhadap kaum dhu'afa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dan memang,
agama Islam sangat menganjurkan hal yang demikian itu. Karena pada dasarnya
manusia itu zoon politicon (meminjam istilah Aristoteles) yaitu makhluk
sosial, yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Sekuat apapun dia, sekaya
apapun dia pasti memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya
itulah sunnatullah. Bukankah seseorang itu disebut kaya karena ada yang miskin,
disebut kuat karena ada yang lemah, disebut pandai karena ada yang lemah dan
begitulah seterusnya. Ini merupakan realita kehidupan yang tidak bisa dibantah
dan dipungkiri. Setuju ataupun tidak begitulah adanya.
Kalau kita bicara dalam konteks
ukhwah Islamiyah maka hal ini akan lebih bermakna. Ukhwah Islamiyah sendiri
bisa didefinisikan sebagai rasa persaudaraan yang dilandasi persaman aqidah dan
keyakinan. Pengertian ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam al Qur'an :
إنَّمَـاالـْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
Hanyalah orang-orang beriman itu
bersaudara
Maka segala perbuatan sosial yang
berkaitan dengan kemasyarakatan yang kita lakukan hendaklah mengutamakan
saudara kita. Sehingga bisa diharapkan, kita menjadi ummat yang unggul baik
secara aqidah, ekonomi, pertahanan dan lain sebagainya. Dari sinilah loyalitas
kita terhadap ajaran agama menjadi tampak. Rasulullah SAW bersabda:
لاََيُؤْمِنُ أََحَدُكـُمْ حَتىَّ
يُحِبَّ لأخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفسِه
Tidak sempurna iman seseorang
diantara kamu, sehingga dia mencintai Saudaranya sama seperti mencintai dirinya
sendiri.
Hadits ini mengaitkan antara
kesempurnaan iman dengan kecintaan terhadap sesama muslim. Bukan hanya sekedar
ucapan cinta, tapi yang lebih utama adalah pembuktian rasa cinta itu dalam
kehidupan. Misalnya dengan membantu meingankan beban hidup mereka. Karena cinta
tanpa bukti tak lebih dari fatamorgana dan hiasan bibir semata. Kepedulian kepada
sesama muslim ini menjadi barometer sejauh mana kesempurnaan iman seorang
muslim. Semakin peduli dia terhadap saudaranya, sejauh itu pula kesempurnaan
imannya. inilah yang ingin diajarkan al habib Hasan Baharun kepada semua
muridnya.
Pada tahun 1966 beliau merantau ke
Pontianak dalam rangka menyebarluaskan dakwah Islamiyah. Ketika beliau memasuki
suatu daerah, yang pertama kali dilakukannya adalah bersilaturrahmi dengan
tokoh-tokoh masyarakat setempat, kemudian meminta izin agar diperbolehkan
berdakwah di sana. Berbekal budi pekerti yang mulia dan tutur kata yang santun
akhirnya masyarakatpun menaruh simpati, bahkan mendukung apa yang beliau
usahakan.
Yang unik dari cerita dakwah beliau
di daerah ini, setiap kali berdakwah beliau selalu membawa seperangkat alat
pengeras suara (sound system) karena sarana ini sangat langka ketika itu di
Pontianak. Sehingga masyarakat yang mengundangnya tidak akan kerepotan mencari
peralatan sound system. Dan tak lupa pula, beliau selalu membawa satir/tabir
untuk menghindari terjadinya ikhtilat (percampuran antara jama'ah laki-laki dan
perempuan). Ikhtilat dengan orang yang bukan mahrom adalah suatu perbuatan
maksiat. Menurut beliau, hidayah Allah tidak akan turun di tempat yang terjadi
kemaksiatan di sana. Apalagi dalam berdakwah, hidayah Allah merupakan tujuan
atau ruhaniyah diselenggarakannya kegiatan tersebut.
Inilah bentuk lain dari kepedulian
beliau terhadap sesama muslim. Bukan hanya segi lahiriyah saja yang beliau
perhatikan, tapi segi batiniyahpun tidak dilupakan. Bahkan segi yang kedua
inilah yang lebih memerlukan perhatian ekstra. Seseorang yang tidak tercukupi
kebutuhan lahirnya (fisik), paling banter dia akan yang serba sulit penuh
dengan tuntutan, tapi segera berakhir jika ajal telah menjemput. Tetapi
kekurangan kebutuhan batin (spiritual) akan menjadikan kehidupannya sengsara.
Bukan hanya di dunia bahkan akan terus berlanjut sampai di akherat kelak.
Naudzu billah . Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيـْرٍ فَلَهُ
مِثـْلُ أَجْـرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa menunjukkan (orang lain)
kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.
Dan lagi sabdanya :
مَنْ لاَيَهْـتَمَّ بِأُمُوْرِ
الْمُسْـلِمِيْنَ فَلـَيْسَ مِنَّا
Siapa saja yang tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin maka bukan dari golongan kami.
Majalah El Bashiroh
Posting Komentar