Dalam sebuah hadis yang bersumber
dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a Rasulullah SAW bersabda:
“Empat sifat, siapa yang lengkap
pada dirinya, maka ia betul-betul seorang munafik. Dan barangsiapa yang
mempunyai salah satu daripadanya (sifat tersebut), maka berarti ia telah
memiliki salah satu sifat munafik, sampai ia meninggalkan (bertaubat) dari
sifat tersebut. (Empat sifat tersebut adalah:) Jika dipercaya khianat; Bila
bicara ia berdusta; Jika berjanji ia ingkari; dan jika berdebat ia melampaui
batas (ingin menang sendiri).” (dalam
riwayat Muslim ditambahkan:”Walaupun ia sholat dan berpuasa”)
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a)
Kalau kita perhatikan hadis di atas, maka perbuatan bohong
adalah salah satu bagian dari sifat munafik. Akan tetapi menurut banyak ulama,
sekalipun hanya memiliki satu sifat-sifat yang disebutkan dalam hadis
Rasulullah SAW tersebut, maka seorang pembohong atau tukang
bohong sudah dapat dikategorikan sebagai seorang yang munafik, sampai
ia tinggalkan perbuatan bohong tersebut.
Sementara itu Syaikh Abdullah
Al-Ghazali menyatakan, bahwa antara bohong dan munafik
sebenarnya bedanya sangat tipis, bahkan dapat dikatakan tidak ada bedanya sama
sekali. Sebab kenyataannya dalam sifat-sifat yang disebutkan oleh Rasulullah
SAW di dalam hadis tersebut, semuanya mengandung unsur “kebohongan”.
Logikanya adalah; Orang yang
mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya, tentunya akan memiliki alasan
untuk berbohong, mengapa ia khianat. Begitu juga dengan orang yang mengingkari
janji dan Orang yang tak mau kalah dalam berdebat, jelas akan sanggup melakukan
banyak kebohongan demi mempertahankan pendapatnya. Jadi kesimpulannya adalah; “tukang
bohong adalah seorang yang munafik; sedangkan orang yang munafik jelas adalah
seorang tukang bohong.”
Seseorang yang memiliki sifat
munafiq adalah seorang yang berpura-pura baik dan jujur. Kata pepatah Melayu: “telunjuk
lurus kelingking berkait atau pepat di luar runcing di dalam”. Pandai
bicara dan manis kata-katanya, tapi penuh dengan kebohongan. Jika ia
memiliki kepandaian, maka hal itu akan digunakannya untuk menutupi kebohongan
dan keburukannya; dan ia “seperti pucuk eru”, selalu berubah arah dan
pendirian demi mencapai maksud dan tujuan yang di-inginkannya. Oleh sebab
itulah Allah SWT sangat-sangat benci kepada orang yang munafik sebagaimana
firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang munafik
itu adalah orang-orang yang fasik. Allah mengancam orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka
kekal di dalamnya; cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka,
dan bagi mereka azab yang kekal.” (Q.S.
At-Taubah: 67-68)
Sementara dalam ayat yang lain Allah
SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (Q.S. An-Nisaa’: 145)
Sedangkan mengenai tukang bohong, selain
menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak beriman, maka
Allah SWT juga menegaskan:
“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap
orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa. Ia mendengar ayat-ayat
Allah dibacakan kepadanya kemu-dian ia tetap menyombongkan diri seakan-akan ia
tidak mendengarnya, maka beri khabar gembiralah ia dengan azab yang pedih.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 7-8)
Sebenarnya kemunafikan sang
penguasa atau fenomena penguasa yang tukang bohong tersebut
tidak hanya ada di tingkat atas, tapi menjalar sampai ke bawah, sampai-sampai
ke tingkat RT. Makin tinggi dan besar wilayah kekuasaannya, maka makin besar
pula tingkat kebohongannya. Akan tetapi anehnya, walaupun sudah jelas
kemunafikan dan kebohongan yang dilakukan oleh sang penguasa atau si pejabat,
masih banyak di antara kita yang kehilangan akal sehat dan mengabaikan hati
nuraninya untuk membela kemunafikan dan kebohongan sang penguasa dan si pejabat
tersebut; baik untuk kepentingan pribadi maupun golongannya. Sehingga
pada akhirnya mereka pun dapat pula disebut sebagai orang munafik atau tukang
bohong, lantaran telah berbohong dan membohongi diri sendiri.
Lalu untuk apakah
mereka beribadah kepada Allah SWT dan membuat pernyataan; bahwa “hanya
Engkau jualah yang kami sembah dan hanya Engkaulah tempat kami memohon
pertolongan?”
KH. Bachtiar Ahmad
Posting Komentar