Hilal Menurut Bahasa
Hilal dalam Bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf
asal yaitu ha-lam-lam (ﻫ – ل – ل), sama dengan asal
terbentuknya fi’il (kata kerja) هَلَّ dan tashrifnya اَهَلَّ. Hilal (jamaknya ahillah) artinya bulan sabit, suatu
nama bagi cahaya bulan yang tampak seperti sabit. هَلَّ dan اَهَلَّ dalam konteks hilal mempunyai arti bervariasi sesuai
dengan kata lain yang mendampinginya yang membentuk isthilahi (idiom).
Bangsa Arab sering mengucapkan:
Bangsa Arab sering mengucapkan:
هَلَّ الِْهَلاَلُ dan اَهَلَّ
اْلهِلاَلُ artinya bulan sabit tampak.
هَلَّ الرَّجُلُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
اَهَلَّ الْقَوْمُ الْهِلاَلَ artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
هَلَّ الشَّهْرُ artinya bulan (baru) mulai dengan tampaknya bulan sabit.
هَلَّ الرَّجُلُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
اَهَلَّ الْقَوْمُ الْهِلاَلَ artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
هَلَّ الشَّهْرُ artinya bulan (baru) mulai dengan tampaknya bulan sabit.
Jadi menurut Bahasa Arab, hilal adalah bulan sabit yang tampak pada awal
bulan dan dapat dilihat. Kebiasaan orang Arab berteriak kegirangan ketika
melihat hilal.
Hilal Menurut al-Qur’an
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat
kepada Nabi SAW tentang ahillah (jamak dari hilal):
يَسْأَلونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ …
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…””
Ayat ini menunjukkan bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi
kehidupan manusia dan ibadah, termasuk ibadah haji. Pertanyaan itu muncul
karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata
lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu pasti tampak terlihat.
Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid I halaman 84 mengemukakan sebuah riwayat dari
Abu Na’im dan Ibnu ‘Asakir dari Abi Sholih dan Ibnu Abbas menceritakan:
اِنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ وَثَعْلَبَةَ بْنَ غُنَيْمَةٍ
قَالاَ: يَارَسُوْلَ اللهِ, مَا بَالُ الْهِلاَلِ يَبْدُوْ دَقِيْقًا مِثْلَ
الْخَيْطِ ثُمَّ يَزِيْدُ حَتَّى يَعْظُمَ وَيَسْتَوِىَ وَيَسْتَدِيْرَ, ثُمَّ لاَ
يَزَالُ يَنْقُصُ وَيَدُقُّ حَتَّى يَعُوْدَ كَمَا كَانَ, لاَ يَكُوْنُ عَلَى
حَالٍ فَنَزَلَتِ اْلاٰيَة
“Sesungguhnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah bertanya: “Ya
Rasulallah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut cahayanya laksana benang,
selanjutnya bertambah sehingga membesar, merata dan bundar, dan kemudian
berangsur-angsur menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula,
tidak dalam satu bentuk?” Maka turunlah ayat ini.”
Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatuttafasir juz I halaman 125 mengemukakan
tafsir ayat tersebut sebagai berikut:
يَسْأَلُوْنَكَ يَامُحَمَّدْ عَنِ الْهِلاَلِ لِمَ يَبْدُوْ
دَقِيْقًا مِثْلَ الْخَيْطِ ثُمَّ يَعْظُمُ وَيَسْتَدِيْرُ ثُمَّ يَنْقُصُ
وَيَدُقُّ حَتىَّ يَعُوْدَ كَمَا كَانَ؟
“Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak
lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut
dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”
Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya fii Zhilalilqur’an juz I
halaman 256 menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
فَهُمْ يَسْأَلُوْنَ عَن اْلاَهِلَّةِ … مَا شَأْنُهَا؟ مَا
باَلُُ الْقَمَرِ يَبْدُوْ هِلاَلاً ثُمَّ يَكْبُرُ حَتىَّ يَسْتَدِيْرَ بَدْرًا
ثُمَّ يَأْخُذُ فِى التَّنَاقُصِ حَتَّى يَرْتَدَّ هِلاَلاً ثُمَّ يَخْتَفِى
لِيُظْهِرَ هِلاَلاً مِنْ جَدِيْدٍ؟
“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan
ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar
sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali
menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya
menampakkan hilal dari (bulan) baru?”
Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid 4 hal 67 menafsirkan ayat
…وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ (QS Yunus : 5) sebagai berikut:
وَقَدَّرَ سَيْرَ اْلقَمَرِ فِىْ فَلَكِهِ مَنَازِلَ يَنْزِلُ
كُلَّ لَيْلَةٍ فِى وَاحِدٍ مِنْهَا لاَ يُجَاوِزُهَا وَلاَ يَقْصُرُ دُوْنَهَا
وَهِيَ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ يُرَى الْقَمَرُ فِيْهَا بِاْلاَبْصَارِ ,
وَلَيْلَةٌ اَوْ لَيْلَتَانِ يُحْتَجَبُ فِيْهِمَا فَلاَ يُرَى .
“Allah menetapkan perjalanan bulan pada orbitnya beberapa manzilah;
setiap malam menempati satu manzilah; tidak akan melampaui dan tidak berkurang
dari padanya. Adapun manzilah-manzilah itu ialah 28 manzilah yang di dalamnya
bulan terlihat oleh mata, dan 1 malam atau 2 malam bulan tertutup, maka tidak
dapat dilihat.”
Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa dari observasi bulan al-Maraghi
berkesimpulan:
1. Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam).
2. 27 manzilah berikutnya, yakni tanggal 2 sampai dengan 28, bulan dapat dilihat dengan mata.
3. Manzilah ke-29 atau ke-30, bulan tidak dapat dilihat dengan mata.
4. Penafsiran yang sama juga dilakukan al-Maroghi terhadap surat Yasin ayat 39.
Jelaslah menurut ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsirnya tersebut, bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
Sumber: Makalah KH. Ghozali Masroeri yang disampaikan dalam acara Mudzakarah di Aula TK Islam Al-Azhar lt.II Kampus Al-Azhar Kebayoran Baru, Senin 2 Juli 2012, yang dipanel dengan Prof. DR. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN), dan Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Moderator : Dr. HM. Hartono, MM (Ka. Sekretariat Masjid Agung Al Azhar)
1. Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam).
2. 27 manzilah berikutnya, yakni tanggal 2 sampai dengan 28, bulan dapat dilihat dengan mata.
3. Manzilah ke-29 atau ke-30, bulan tidak dapat dilihat dengan mata.
4. Penafsiran yang sama juga dilakukan al-Maroghi terhadap surat Yasin ayat 39.
Jelaslah menurut ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsirnya tersebut, bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.
Sumber: Makalah KH. Ghozali Masroeri yang disampaikan dalam acara Mudzakarah di Aula TK Islam Al-Azhar lt.II Kampus Al-Azhar Kebayoran Baru, Senin 2 Juli 2012, yang dipanel dengan Prof. DR. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN), dan Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Moderator : Dr. HM. Hartono, MM (Ka. Sekretariat Masjid Agung Al Azhar)
Posting Komentar