Hilal Menurut as-Sunnah
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari Rib’i bin
Hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan di
depan :
بِاللهِ لَاَهَلَّ اْلهِلاَلُ اَمْسِ عَشِيَّةً
Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore
Hadits ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula
dalam hadits-hadits yang lain seperti hadits Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin
Ghunaimah tersebut di atas:
يَارَسُوْلَ اللهِ, مَا بَالُ الْهِلاَلِ يَبْدُوْ دَقِيْقًا
مِثْلَ الْخَيْطِ …
(Artinya : “Ya Rasulallah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut
cahayanya laksana benang”)
Hilal Menurut Sains
Hilal atau bulan sabit atau dalam istilah astronomi disebut crescent adalah bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi.
Dari tinjauan bahasa, Al-Qur’an/tafsir, As-Sunnah dan tinjauan sains
sebagaimana diutarakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hilal adalah bulan
sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dari bumi
dengan mata di awal bulan, sesaat setelah terbenamnya matahari di hari telah
terjadinya ijtima’ atau konjungsi, sebagai tanda datangnya bulan baru.
Kalau tidak tampak tidak disebut hilal. Hilal tidak hanya dalam
angan-angan/pemikiran; dan tidak hanya dalam dugaan/keyakinan. Untuk mengetahui
adanya penampakan hilal (ظُهُوْرُ الْهِلاَل),
diperlukan upaya-upaya observasi, pengamatan, atau rukyah di lapangan.
Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal yang dapat dilihat dengan mata
di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam). Kalau tidak tampak tidak
disebut hilal. Hilal tidak hanya dalam angan-angan/pemikiran; dan tidak hanya
dalam dugaan/keyakinan. Untuk mengetahui adanya penampakan hilal (ظُهُوْرُ
الْهِلاَل), diperlukan upaya-upaya observasi, pengamatan, atau rukyah di lapangan.
Rukyah adalah sepatah kata isim berbentuk masdar, mempunyai fi’il ro-aa –
yaroo (رَأَى – يَرَى). Kata رَأَى dan tashrifnya mempunyai banyak arti, antara
lain: melihat, mengerti, mengetahui, memperhatikan, berpendapat, menduga,
yakin, dan bermimpi.
Ketika kata ro-aa (رَأَى) dan tashrifnya dirangkaikan dengan objek / maf’ul
bih (مَفْعُوْلٌ بِهِ) yang fisikal / thobii’iyyaat (طَبِيْعِيَّات) maka
masdarnya adalah rukyah (رُؤْيَة); dan mempunyai arti tunggal yaitu “melihat
dengan mata kepala”, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat pembesar.
Contoh :
رَأَى كَوْكَبًا – رُؤْيَةُ كَوْكَبٍٍ : Melihat Bintang
رَأَى اْلقَمَرَ – رُؤْيَةُ الْقَمَرِ : Melihat Bulan
رَأَى الشَّمْسَ – رُؤْيَةُ الشَّمْسِ : Melihat Matahari
رَأَى الْهِلاَلَ – رُؤْيَةُ الْهِلاَلِ : Melihat Hilal.
لِرُؤْيَتِهِ (Karena Melihat Hilal)
رَأَى كَوْكَبًا – رُؤْيَةُ كَوْكَبٍٍ : Melihat Bintang
رَأَى اْلقَمَرَ – رُؤْيَةُ الْقَمَرِ : Melihat Bulan
رَأَى الشَّمْسَ – رُؤْيَةُ الشَّمْسِ : Melihat Matahari
رَأَى الْهِلاَلَ – رُؤْيَةُ الْهِلاَلِ : Melihat Hilal.
لِرُؤْيَتِهِ (Karena Melihat Hilal)
Baca Surat Al-an’am ayat 76 s/d 78 untuk contoh 1, 2, dan 3. Dan baca
berbagai As-Sunnah untuk contoh no. 4.
Sedangkan ro-aa (رَأَى) yang mempunyai arti lain, objeknya tidak fisikal
(غَيْرُ طَبِيْعِيَّات). Adakalanya tanpa objek dan masdarnya bukan Rukyatun,
tetapi ro’yun (رَأْيٌ). Ketika ro-aa mempunyai dua maf’ul bih (objek), maka
mempunyai arti menduga atau yakin. Dan adakalanya bermakna mimpi, masdarnya
ru’ya (الرُؤْيَا).
Sumber: Makalah KH. Ghozali Masroeri yang disampaikan dalam acara Mudzakarah di Aula TK Islam Al-Azhar
lt.II Kampus Al-Azhar Kebayoran Baru, Senin 2 Juli 2012, yang dipanel dengan
Prof. DR. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN), dan
Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah). Moderator : Dr. HM. Hartono, MM (Ka. Sekretariat Masjid Agung Al
Azhar)
Posting Komentar